Sunday, March 12, 2006

Dua Pesan Pendek

Pagi itu dia menerima dua pesan pendek dalam telepon selulernya. Tak ingat betul kapan teleponnya berbunyi, yang menandakan ada pesan masuk. Tapi yang pasti dia masih tertidur menjelang subuh tadi. Ada dua nama yang familiar betul dia kenal, tapi jarang ia sambangi kabarnya beberapa bulan belakangan. Pertama dari adiknya, dan yang kedua Mansur. Adiknya bilang dalam pesan pendek, “Aku akan tur setahun ini, kapan kakak bisa mampir. Sudah kangen, kakak lama tak datang ke sini.” Selanjutnya dari Mansur. Katanya dia punya bayi baru yang lahir tengah malam tadi. Namanya Bayu, sehat walafiat lahirnya. Mansur juga tanya, kapan dia akan mampir ke rumahnya.

Dia yakin pesan singkat itu ditulis oleh empunya dalam keadaan bahagia. Dan si empunya pesan pasti ingin berbagai kebahagiaan dengannya. Mereka juga samasama terbangun sampai tengah malam karena sangat gembira dan menulis pesan itu kemudian, subuhsubuh Tapi kabar gembira itu tak ayal menyulut air matanya. Dia tergugu menahan tangis. Memendam sedih dan harunya dalam bahu yang bergetar hebat. Dia menutup matanya rapatrapat dengan kepalan kedua tangan. Tak rela betul dia sampai berlinangan airmata.

Dari tepi tempat tidur tempat ia duduk, dibalikkan badannya. Dia melihat istrinya yang masih pulas tertidur. Di sebelahnya, ada anak pertama mereka yang baru berusia tiga tahun. Putri namanya. Tidurnya juga pulas dengan jempol tangan menempel di bibirnya. Ah, susah betul dia dan istrinya mengatasi kebiasaan buruk itu. Berkalikali si istri mendispilinkan Putri. Kadang dia pikir terlalu keras usaha istrinya itu. Kadang kasihan juga dia melihat Putri yang menangis habis dimarahi ibunya. Kadang ia menghampiri Putri lantas memeluknya dengan erat, lalu menggendongnya ke ruang belakang. Habis itu itu, kadang ia menghibur, mengajaknya kembali bermain. Kalau tawa sudah terdengar barulah ia mulai perannya sebagai bapak. Ibu tak mau kamu menghisap jari kamu. Karena itu dia marah pada kamu.

Pagi belum lagi terang. Tapi dia masih takut untuk mengibaskan tirai jendela. Dia tak mau tidur anak dan istrinya terganggu cuma karena cahaya matahari nyelonong ke tempat tidur mereka. Dia bangun mengenakan kembali kemeja yang digantungkan malam tadi. Panas tadi malam.

Dia bergeser pelan sekali, merangkak, mencium Putri. Kemudian dia menciumnya lagi. Seakan ingin memastikan bibirnya telah menyentuh pipi Putri. Kepada istrinya dia mengusap kepalanya dengan tangan. Lirih ia berucap, aku cinta kamu. Ia kembaili meraih teleponnya, membuka dua pesan yang tadi telah terbaca. Dengan napas panjang dan helaan sekali lagi dia menghapus pesanpesan yang ada di dalamnya. Dia tinggalkan itu telepon di meja dekat tempat tidur.

Dia keluar rumah menuju laut. Naik bus dan melihat etalase yang dekil sepanjang perjalanan. Melihat mobilmobil yang melintas dan bertabrakan, melihat orangorang yang lalulalang dan bertubrukan, melihat awanawan yang melayang dan menutup matari, melihat asap knalpot yang membungbung tinggi dan pecah dihantam angin. Tapi semuanya bisu. Dia mencoba mendengarkan sumpah serapah kepala yang menyebul dari jendela mobil. Dia yang mengutuk kepada pengendara motor yang sudah melesat jauh ke depan setelah menyenggol itu mobil. Dia mencoba mendengarkan lagu apa yang dilantunkan dua orang di dalam bus. Dia mencoba mendengarkan genjreng gitar yang dicorongkan ke jendela mobil mewah oleh pemuda bertubuh kerempeng. Dia juga yakin betul tiupan peluit polisi nyaring bunyinya. Dia yakin betul bunyi peluit itu memekakkan telinga meski si polisi tetap berairmuka tenang dan terus melambailambaikan tangannya. Uang receh yang tertampung dalam gelas plastik itu pasti berbunyi ketika terombangambing bersama pemiliknya yang ringkih dan bau. Tapi ia tak mendengar suatu apa. Saat memicingkan matanya, dia berbisik kepada tuhan, “Tuhan kembalikan pendengaranku. Sekali ini saja,”

Belum lagi terkabul doanya, dia sudah sampai tepian laut. Bus yang membawanya ke situ sudah lama berlalu, meninggalkan dia termangu sendirian menatap laut. Angin masih membawa sisasisa dingin yang berkelana sendirian dari tengah laut sejak malam tadi. Sisa fajar tadi pagi masih tersisa di pojok pandangan jauhnya. Tapi laut masih sebiru biasanya. Buih putih yang datang dari tengah laut menamparnampar pinggiran pantai. Tapi yang dia lihat adalah lambaian tangan yang mengajaknya bertamasya ke tengah laut.

Semula langkahnya mantap menuju laut. Pasir kering dan sentengah basah bisa dirasakan kakinya yang tak lagi terbungkus sepatu. Gelombang kecil menyentuh kakinya. Dingin menyentakkan pikiran. Sejenak ia berhenti. Menunggu deraian gelombang lainnya datang. Gelombanggelombang datang, tapi bukan dingin lagi yang dia bawa. Kehangatan menjalar terus ke betisnya, lalu pahanya. Lalu sekujur tubuhnya terasa sangat hangat. Dan itu jadi semacam penanda baginya untuk terus berjalan. Itu menjadi semacam penguat untuk meneruskan niatnya menyambangi laut.

Sekarang batas air sudah mencapai pinggangnya. Langkahnya semakin berat. Tak cuma kaki, tangannya kini sudah ikut menyibak air. Berkalikali ia terjerembab karena tak kuat menahan gelombang. Tubuhnya basah tapi tak sampai tenggelam. Tapi dia kemudian bangkit lagi dan menyongsong gelombang berikutnya. Air semakin meninggi. Sekarang tiap kali terjerembab dia pasti tenggelam. Seteguk dua teguk air asin ikut tertelan. Lalu dia merasa tenggorokannya terbakar. Kini ia sudah tak lagi merasakan pasir sebagai pijakannya. Dia terombangambing gelombang. Dia merasakan tangantangan mengamit badannya. Mengajaknya ikut ke dalam. Tiap kali dia ingin keluar mengambil napas, muncul lagi tangantangan itu. Dan tangantangan itu samakin kokoh. Dia memutuskan untuk tak lagi berontak, membiarkan tangantangan itu berkuasa penuh terhadap dirinya. Membawa dia semakin ke tengah laut dan kemudian ke dalamnya.

* * *

Tengah malam itu dia tak mampu memejamkan matanya. Dia baru saja terbangun dari mimpi. Dia melihat kakak satusatunya terbakar api. Tubuh berapi itu berlarilari ke kanan dan ke kiri, tapi dia tak mampu memadamkan api yang semakin membesar. Api menelan kakaknya.

Sebenarnya dia tak benarbenar punya kakak. Dia orang rantau di kota ini. Lalu berkenalan dengan lelaki yang kemudian mendaulatkan dirinya sendiri sebagai kakak. Dia suka suaranya dan terus memujinya sebagai biduan nomor wahid. Ah, kakak. Tahu betul dia bagaimana menyenangkan hatinya. Lalu dia juga menyuruhnya bergabung dengan kelompok paduan suara, lalu kelompok musik, lalu dia diperkenalkan dengan seorang temen yang kelak membawanya ke panggung kafe. Dari panggung kafe itu pula dia dapat kontrak membuat album sendiri. Perjalanannya sangat mudah, tidak sesulit apa yang pernah ia bayangkan. Tidak seperti cerita artis yang pernah ia baca di tabloid.

Sebentar ia mengusap keringat yang menitik di dahinya, menarik napas dalamdalam dan bergeser ke tepi tempat tidur. Dia melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Duh, kakak, bukan salahku kau jauh dari telinga dan mata. Sudah berulang kali dia menelepon kakaknya itu, menanyakan kabarnya. Dan yang didengar di ujung sana adalah seorang lakilaki yang sama sekali tak berubah sejak pertama kali dia bertemu. Suara yang amat ramah dan membuatnya nyaman. Kak, mampirlah ke rumah. Rupanya kau tak sudi mampir ke bilikku. Dia tertawa keras dan bersuara ramah setelahnya, benjanji dengan amat meyakinkan, aku pasti datang. Pekan depan ya.

Dia mengenang kariernya yang sejak itu melejit. Awalnya tiap bulan dia sempatkan menelepon kakak. Andai lowong dia pun tak segan mampir dan memberi bingkisan. Tapi makin lama makin sibuk. Andai sampai rumah, dia pasti dalam keadaan sangat lelah. Karena itulah dia berulangulang merajuk kakak agar mampir ke rumah. Sesekali kakak datang dan ngobrol dan bercanda dan bicara serius, seperti dahulu. Tapi lepas itu, kakak melesak ke bumi. Tak terdengar kabar berita.

Ia kemudian mendengar kakak menikah. Betapa marahnya dia. Tapi kakak begitu tahu bagaimana meredakan kemarahannya. Marahnya sontak meredup begitu tutur diselingi canda keluar dari mulutnya. Dia diperkenalkan dengan istrinya, yang anak petani. Cantik, putih kulitnya, sederhana tingkahnya. Dia begitu suka dengan “iparnya” itu. Kakak bilang cuma anak petani kecil saja yang bisa ia jadikan istri. Yang stratanya lebih tinggi katanya lebih mahal biayanya dan lebih rumit menikmatinya. Ah, kakak. Dia memang terlalu sederhana, meskipun bagi dia yang cuma anak rantau.

Cuma mimpi, mungkin ini karena udara panas yang melekap di kamarnya. Atau mungkin karena ia gugup menghadapi esok, hari pertama ia memulai rangkaian tur luar kotanya. Ini sukses besar baginya. Dan ia tentu ingin bercerita kepada kepada orangorang yang tercinta. Dia ingin berbagi gugup dan keluh kesah. Menjelang subuh dia menulis pesan pendek itu, “Aku akan tur setahun ini, kapan kakak bisa mampir. Sudah kangen, kakak lama tak datang ke sini.”

Dia kemudian berusaha melanjutkan tidurnya kembali. Ah, matahari sudah terbit sementara matanya belum terbenam dari tengah malam tadi. Dia pasti mengantuk sekali nanti. Mudahmudahan suaranya tak terganggu.

* * *

Soresore Mansur menerima telepon dari tetangganya. Istrinya sudah siap melahirkan. Air ketuban telah pecah, mulasnya gawat sampai berteriakteriak. Tetangga yang lain sudah mengantarkannya ke Bidan Liana. Mansur segera lapor atasan, minta jadwal pulangnya dipercepat. Istrinya mau melahirkan. Motor kreditannya itu dipacu kencangkencang menuju rumahnya. Tapi di tengah jalan dia baru ingat dan membelokkan motor ke kanan menuju Bidan Liana, tempat istrinya menunggu kelahiran jabang bayi pertama mereka.

Tapi antara air ketuban pecah dan kelahiran ternyata ada jarak yang jauh yang tak terlihat. Sungguh lama betul rasanya menunggu proses kelahiran. Dia menunggu dengan gelisah di luar klinik. Hujan tampaknya akan turun, karena angin malam berulang kali menamparnya. Menyisakan dingin di wajah tirusnya.

Dia tak mengerti apa itu “bukaan” saat bidan menyebut istrinya sudah bukaan 10. Tengah malam lewat sedikit, ejanan istrinya tambah hebat, sementara suster dan bidan yang ada di kamar tak kalah gaduh. Sebagian menyuruh istrinya tenang yang lain menyuruhnya mengejan dengan kuat. Dan bersamaan dengan teriakan terkeras, maka bayi itu lahir. Nyaring sekali tangisnya. Pertamatama bidan yang keluar, katanya tunggu sebentar bayinya sedang dibersihkan. Sembari melengos bidan itu bertanya apa dia sudah punya nama. Dia tak punya nama, tapi angin bertiup dengan keras. Karena itu nama Bayu pertama kali muncul di pikirannya.

Begitu masuk ada hangat yang menyergap wajah dinginnya. Hangat dari senyuman istrinya, dari tangis bayinya, dari ruangan yang telah menyaksikan sebuah kehidupan dilahirkan. Bayu saja dik, katanya. Namanya bayu.

Menjelang subuh matanya berat. Tapi dengungan azan dan air wudu segera menyegarkan kembali wajahnya untuk sesaat. Sebelum tertidur dengan memangku bayinya, ia sempat berkirim pesan kepada sahabat baiknya, “Bayiku lahir. Bayu namanya. Doakan biar gagah seperti kamu ya. Hayo mampir kamu udah lama nggak datang.” Pagipagi sinar matahari menembus bilik bidan itu. Sepotong sinarnya menempel di ketiga tubuh yang tertidur lelap itu.

No comments: