Sunday, December 10, 2006

angels have gone

saat hujan terasa asing
di telinga
kita memutuskan untuk membeli tiket
dan berkereta
menuju entah kemana

bertukar cerita dengan bangku dan peron
di stasiun

5.19 kita bermimpi
tentang kondektur dan bidadari
yang tak pernah bertegur sapa

apa itu suara hampa
mendadak kita akrab
dengan hujan yang datang
dari jauh

Sunday, December 03, 2006

mantra penyengat

kebun bunga
kata siapa

kebun kata
bunga siapa

Monday, October 09, 2006

rasanya baru kemarin kita berenang
di rawa kangkung di belakang sekolah
kamu ingat pancing bambu yang patah
dan kail peniti yang kita buat

haris sudah mati duluan
ketabrak truk siang hari bolong
haris yang pernah kita gebuki ramairamai
dan bodohnya tak ketulungan

darimana asal kulit terkelupas
dan mata yang bolong

rasanya kita belum sempat ke bandung
tempat tulangtulangmu pernah menggigil
dan bibirmu membiru

bibirmu yang membara luka,
dari mana asalnya

Thursday, October 05, 2006

emily

sampaikan kepada emily, aku cinta dia
berikan kepadanya seikat bunga
ini sudah kuikatkan
kupilih dari rerumputan dari tepi rel kereta
yang tumbuh di sela bongkahan batu
yang cokelat dan pesing
dan lanjaran besi berkarat
dan kayu yang berkerutkerut

katakan kepada emily, kalau dia setuju
aku lamar dia bulan depan
bilang saja bapaknya sudah tiada
sebelum mati dia bilang, “kutitipkan anakku padamu. kawinilah.”

bilang si johny ini yang mau kawin dengannya
ladang dan gandum telah digadai
tanah dan sepetak rumah sudah pindah tangan
gudang tua tempat dulu kita bercinta juga roboh sudah
tinggal truk tua milik si mac tua yang yang tersisa

ah, emily...




-kembali ngutang kepada manic street preachers... dan cash

Tuesday, September 26, 2006

the wind that shakes the barley

kamu tahu, angin di sini bertiup tak kenal musim
kadang dia melingkar membawa debu
atau langsung menampar wajahmu dengan basah

o padang hijau
o hutan berlumut

kamu tahu, kami berkidung untuk angin itu
karena kami percaya
kidung kami menjemput para pemberani
untuk membebaskan negeri ini

Thursday, September 14, 2006

i know it's gonna happen someday

terang saja aku cinta kamu
pandangmu terlalu memesona
berkedut ke kiri dan kanan
matamu juling

gimana aku tak cinta kamu
tawamu renyah
aku tahu dari mana parau suaramu berasal
bibir kamu sumbing

aku cinta mampus sama kamu
kamu manja tak ketulungan
minta digendong kemanamana
kakimu sebelah pincang

ya sudah. aku cinta kamu
andai kamu mati, aku mampus

Saturday, September 09, 2006

di jalanan

hari ini aku merasa seperti orang buta yang berdansa
dan bertepuk tangan
gembira
di tengah hujan.

Hari ini aku merasa belum tentu ada jalan
yang menuntun ke angkasa
memetik jiwajiwa yang pedih

Badai badai, di mana aku berada di musim semi nanti

Satu hari kau hidup, di lain hari kau mati.

Sunday, June 18, 2006

rembulan

kalau anakmu bangun malam ini
jangan kaubiarkan dia membuka jendela
karena aku khawatir dia bertanya
"di mana separuh rembulan?"

sebelah rembulan telah kuremuk
dan kutabur dalam gerobak roti
yang kukayuh sampai tengah malam ini

di mana pun kau makan rotiku
sobeklah pelanpelan
niscaya kau temukan sisa malam
dan sedikit rembulan di dalam

small black flower in the sky

saat main layanglayang
jangan lupa kautunjuk
itu awanwan putih yang bertumpuk

kau bilang padanya
di situ ada bunga hitam kecil
yang tumbuh

mereka menyembunyikan
nasib orangorang terkutuk
di akarakarnya

dan kadangkala kau lihat
awan menghitam

dan menangis


-diambil dari judul lagu manic street preachers

Saturday, June 03, 2006

ini malam

kalau kau bilang malam itu hitam, akan kulinggis hidungmu
Karena aku tau kalau kelam itu ada di bawah kepak gagak

aku toh tak pernah bertanya padamu, tentang hujan
(tegakkan badanmu)
dan pojok gang yang menunggumu sendirian
(hentakkan kakimu)
atau badan yang berdiri tegak menggigil
(kita hendak berdansa)
pada purnama tertutup awan aku melolong panjang
(ikuti irama)
mengharap engkau datang
(kita mabuk bersuka cita)

Sunday, May 21, 2006

telepon

halo ini telepon, kamu?

Monday, May 01, 2006

ga selesai

lalu, pernah kami berjalan di sepanjang garis pantai
dia bercerita tentang neneknya yang larut dipersunting laut.

kemudian dia menunjuknunjuk batas cakrawala menyembur jingga
"itu ufuk pernah ditembus perwira yang mati berduka"

itu tuan yang bersuara parau
telah mati.


-deposuit potentes de sede, et exaltavat humiles

Thursday, April 27, 2006

dia 2

dari ranjang, bersama tuan,
aku belajar kehidupan
tentang lekuk lakilaki
dan kanakkanak yang berahi

aku dulu cuma membawa sejumput pikiran
yang bercampur lumpur sawah di desa
tapi lihat, tuan
kini aku punya pikiran saudagar
serba merki serba perhitungan

aku menghitung setiap senti badan ini
dengan rupiah yang mampu kau tutupi

lihat tuan,
aku mampu mengubah laki yang baru tumbuh jakunnya
menjadi manusia paripurna

Tuesday, April 25, 2006

dia 1

mari kuajar kau menyapu wajah
ini dia pupur dan kuasnya

perhatikan gincu di bibir Makmu ini
ulas dua kali sampai merona

tinggal kau tipu mata itu bandot tua

untuk rupiah yang kaukumpul
jangan pernah disimpan

sebab rupiah pula bapakmu pergi

Wednesday, April 19, 2006

kutagih waktu

karena kemana pun kau lari, pasti kau kukejar. karena aku akan berlari bersamamu. mengikutmu bak bayang tubuh sendiri. aku hendak membuatmu terburu-buru. lalu terbirit-birit. aku hendak membuatmu merasa tak enak hati karena telah memisahkan kami. aku akan membuatmu tersengal-sengal berlari dari janji yang kau buat sendiri. waktu, kan kukejar engkau sampai kau kembalikan dia padaku.

tapi aku tak hendak berhitung denganmu.

anakku lahir

selamat datang di dunia nak
ada delapan penjuru angin yang perlu kau kecup

sekarang adalah saatnya

sekarang adalah saatnya kita mabuk seperti anak-anak yang tak pernah kehilangan napas untuk tertawa. sekarang adalah waktunya bermain memanjat pohon yang tinggi dan berpura-pura menjadi kesatria robin yang mengelompok, mencuri upeti dan membagi-bagi kepada mereka yang miskin. sekarang adalah waktunya kita merasa jumawa lalu mencoba busur-busur dan menghentak-hentakkan toya. dan pohon-pohon mendadak menciut begitu ibu memanggilmu untuk mandi

dan sekarang adalah waktunya berlaga seperti kesatria. mengendara kuda dan menjelajah istana. serupa berandal mencumbu putri cantik rupa. mengutuk-ngutuk rahib dan bihara. kau pun membayangkan membopong sang putri yang tengah sekarat dalam hujan yang membara. kau menangisi cinta yang tak pernah dimengerti kaum tua. dan bumi berubah menjadi tempat lapang tempat kau harus menggembala saat bapakmu memanggil "tole kambingmu belum minum".

dan sekarang pun berlalu, menanyakan kepadamu "tahukah kamu angin, dingin, dan hujan tak pernah bertanya kepadamu,'kapan kau beranjak dewasa?'"

Boxers

Ada satu kali dia ingin kembali naik ring
Katanya uang hasilnya lumayan untuk membeli pistol mainan untuk buyung
Dan boneka cantik untuk si upik
Tapi bunyi bel berubah menjadi neraka
Dan si buyung hari ini menolak ke sekolah, karena satu kampung memperolok ayahnya yang tumbang di ring.

“dunia hari ini mengubur sebuah keluarga.”

Interlude

Bukan saya yang nyanyi itu hari.

Friday, April 07, 2006

mantra pemusnah duka

kadang ia menumpuk luka
di tangan kirinya

"selusin awan
sekodi hujan
sewindu musim"

diremas itu luka
dan dibuang
ke tempat sampah

Monday, April 03, 2006

mati

Kalau aku mati
Aku ingin begitu saja
Tanpa dupa
Tanpa duka

Tanpa bunga kamboja
Dan keranda

Kalau aku mati
aku ingin mendekap sunyi

Sunday, April 02, 2006

broken flower

tak ada ranting yang patah
tak ada daun yang jatuh
tak ada bunga yang rapuh

tapi dia tak kunjung mengerti misteri kuncup yang
tergeletak mati dalam kepalanya.

originally on 25 february 2006

Saturday, April 01, 2006

dongeng

ini kali tak ada dongeng untukmu, nak
minumlah susumu
tidurlah lekaslekas
ibu mesti merayapi malam
esok, kau akan jadi lelaki

bangunlah, nak. bangun
kita adalah mimpi yang akan pudar


originally on 10 march 2006

eskrim

minumlah seteguk eskrimku
eskrimku adalah eskrim keabadian
yang lahir dari gerobak berusia 20 tahun
kaleng termos dan as roda yang berkarat

minumlah seteguk eskrimku
saljunya berasal dari tanganku yang renta
yang harihari ini gemetar saat memarut balok es
dan meramunya dengan susu dan santan

anak, cuma engkau yang membuatku abadi

Monday, March 27, 2006

ah, kami tidak marah dengan apa yang menimpa kami
kami tak hendak membunuh mereka yang berbeda dengan kami, yang kata orang adalah musuh kami

ah, kami tak hendak menuntut kasur mereka yang berpegas
kami tak hendak memakai baju mereka yang berparfum dan pas di badan

ah, kami juga tak hendak membuat revolusi sosial dan mendengar segala omongan sampah dari bangku kuliah
kami tak hendak berfilsafat dalam hidup, karena kami begitu sibuk dengan kehidupan yang hendak kami peras habishabis kenikmatannya.

ah, kami tak hendak mengsosongkan kantong mereka yang beruntung
mereka sama tak berdosanya dengan kami. dan bukan salah mereka, bila mereka dilahirkan lebih beruntung dari kami

ah, kalau kami lebih suka diri kami sendiri, itu bukan berarti kami sombong
kami cuma lelah berpurapura, minder, dan lebih memikirkan apa yang orang pikirkan tentang kami.

...

penabuh duka
penari luka
genderang petaka

Friday, March 24, 2006

mereka yang minta suaka

kami membawa matamata yang menyala merah
kaki berdebu dan perut telanjang yang kelaparan
dari lembah yang penuh darah

kami berlindung dari langit yang membara
dan rumputan yang melepuhkan kaki

tuan tolong kami.

lembah kami bukan lagi lembah keabadian
lembah kami adalah lembah kematian

mereka yang minta suaka

kami membawa matamata yang menyala merah
kaki berdebu dan perut telanjang yang kelaparan

kami mengutuk langit di desa kami yang berdarahdarah
anjing dan babi yang merantai kaki

tuan tolong kami.

lembah kami bukan lagi lembah keabadian
lembah kami adalah lembah kematian

Thursday, March 23, 2006

tadi pagi

tadi pagi tingkap jendela mengadu pada hujan yang turun
dia bilang embun tak lagi mau bergegas di kacakacanya

sepasang mata berkaca entah kenapa

randu dan jati yang kaku merintih
pada hujan september yang jatuh di maret

sepasang mata menutup pasrah, entah kenapa.

dia mengeluh kelu

dia mengeluh kelu pada lidahnya

godam pada cerita
pasak pada lidah
gumam pada tutur

pada pasar,
pada pesta,
pada komidi putar,
pada jalanan kota,
pada arena,
pada cerita kemenangan,
pada gelak tawa dan tangis,
pada televisi,
pada gelasgelas yang pecah,


dia sedang mencari cerita yang menelisup entah kemana

Wednesday, March 22, 2006

mimpi

kapankapan, dik. kuajak kau ke binaria
kita berdua saja

rambutmu awutawutan, dik
kapan waktu kita juga mesti ke salon

anakmu dua, dik. tapi kau tetap cantik
susumu masih busung

kapankapan kita ke pasar, dik
beli daster baru
daster lamamu bau asap dapur semua

laila dan nuha sudah terlelap, dik
tiba waktu bagiku mengelonimu
tidurlah, dik. aku cinta kamu

widodo jadi bapak

widodo sudah jadi bapak
anaknya sudah dua

widodo sudah jadi bapak
rahangnya mengeras
samar ada rambut dan bulu di sekujur pipi dan sekeliling bibir
matanya makin mengeriput ke belakang
dadanya semakin bidang membusung di balik jaket hitam kusam

widodo sudah jadi bapak
jam 6 pagi dia sarapan bersama dua anaknya di warung bu inah
habis itu diantar anaknya itu ke sekolah
jam 12 dia ambil lagi anaknya menuju ke rumah
di waktu antaranya dia mengais rupiah
mengantar orang dengan motor yang belum lunas kreditannya

widodo sudah jadi bapak
di bale itu dia rebah
seorang pemintaminta datang
widodo tersenyum menggeleng kepala
"ini hari penumpangku cuma dua, pak."

Tuesday, March 21, 2006

ukraina

Di ukraina orang amerika belajar membaca
Pada ladang gandum yang menghampar
Tertulis bangkai tank dan senjata yang berkarat.

“Permisi tuan, saya mencari nenek saya.”

Kabin kereta yang berkarat
Taksi paruh baya
Rumah rapuh
Gedung yang lelah
Dan torah yang berdarah

Rusia-1927

Di Rusia yang terbujur membiru
Hutan pinus merapal kabut
Kereta kuda lelah menghela beku
Mengarak mati

Jalan becek berlumpur kelabu
Langit roboh mencurah rintik
Peziarah berjenggot gelap
tak henti menggumam doa
Anakanak dan perempuan bertutup kepala
Bebajuan pengelana

Karavan tua, ke mana mereka hendak singgah

Di baris belakang seorang anak bertanya,
“kemana mereka menelan ayahku?”

Sunday, March 19, 2006

Kampung Tuli (bagian 1)

Bukan karena keturunan, penduduk di kampung ini sedikit berteriak bila berbicara satu sama lain. Tapi dua buah corong pengeras suara musala, satu dari masjid, satu lagi dari dua sekolah yang mengapit kampung rasanya sudah cukup untuk membuat pendengaran mereka berkurang beberapa persen dari ukuran normal. Kalau belum cukup juga, aku beri tahu padamu, ada sepasang jalur kereta api yang ditindas seringsering, bahkan sampai tengah malam. Nyaris 24 jam beroperasi. Belum lagi lonceng untuk pintu kereta yang berbunyi nyaring saban kereta mampir sejanak.

Tiap Senin, corongcorong dari dua sekolah, pagipagi, menggelegar. Kepala sekolah yang berpidato tata krama tak cuma memberikan petuahnya untuk muridmurid yang apel. Tapi juga ibuibu yang keluar membeli sayur, atau bapakbapak yang bersiap kerja. Atau anakanak kecil yang sedang berak di selokan depan rumah.

Oh ya, hampir tiap rumah juga punya pemutar musik lengkap dengan speaker besarbesar. Tiap pagi mereka juga semangat menyetel itu perangkat saling mengadu suara. Cuma di kampung itu saja kau bisa menjumpai pertarungan antara kroncong, dangdut dan lagu pop cengeng.

Tiap jumat irama orkes untuk senam dari sekolah juga masuk ke ruangruang sempit yang masih disisakan antarrumah yang sudah bertumpuk dan berimpitan. Ada yang iseng mengikuti gerak para murid senam massal, sebagian yang lain cuek melanjutkan obrolannya, dengan setengah berteriak. Lima kali dalam sehari corong pengeras dua buah musala yang mengapit di ujungujung gang berebut kuping dan jamaah. Cuma pada hari jumat, waktu zuhur saja musalamusala itu membisu, memberikan suaranya pada masjid jami yang ada di luar kampung. Masjid ini juga punya corong pengeras suara yang tak kalah nyaring. dan hampir setengah jam sekali, atau bahkan kurang dari itu, lokomotoif menderu menyampaikan kabar pada pak penjaga pintu kereta membunyikan lonceng dan menurunkan palang.

Karena itulah, jangan kau heran bila penduduk di sini setengah berteriak bila berbicara dengan yang lainnya.

Lepas azan isya, malam minggu, adalah waktu para pemuda bernyanyi. Giliran gitargitar kopong meraung meminta ruang untuk berdendang. Setelah mereka lelah, minggu pagi giliran bapakbapaknya keluar, bercengkerama di rumah mana pun yang menyediakan sedikit gorengan peneman obrolan yang bisa kalap mengarah kemanamana.

Karena itu kalau kau datang ke kampung itu, yang kaujumpai adalah kebisingan 24 jam tanpa henti.

Malam bisa terasa sangat menyenangkan. Sejuk dengan lampu yang menemani tawa bocah yang bermain di bawahnya. Tapi dengan tibatiba kau bisa digedor dengan teriakan ibuibu yang kalap dengan suaminya. Atau anak yang mengacungacungkan pisau kepada ayahnya. Mereka saling berteriak… kali ini bukan ketika mereka berbicara. Atau kau bisa juga mendengar pintupintu yang digebrak paksa atau triplek yang jadi pembatas antarrumah dijebol. Pertengkaran antartetangga sudah lazim di sini.

Kamu juga masih bisa menjumpai lalat di malam hari. Dan itu cuma ada di kampung ini. Kalau siang tadi itu lalatlalat mampir ke koreng, atau ingus bocah, malamnya mereka menempel bodoh di mana pun. Mereka jadi buta dan bodoh. Nempel di sembarang tempat. Dan kau pun mudah untuk membunuh mereka. Karena mereka sedikit buta.

Malam kemarin Bu Tuti bertengkar dengan Mbak Neni. Perkaranya kecil, cuma karena anak Bu Tuti menyebut Mbak Neni Lonte. Lantas dua perempuan yang sudah lama memendam dendam itu berseteru.

"Lu lonte, anjing. Anak gue emang kaga salah. Elu emang lonte. Mane lu punye laki?"
"Neneklu tuh lonte. Kaga bisa didik anak, lu kurap," Mbak Neni tak kalah sewot.
Bu Tuti lantas kalap mengambil sapu lalu ember, lalu benda apa pun yang ada di dekatnya diraih. Dia mau menutup mulut Mbak Neni, yang masih menyisakan lipstik tebal sisa tadi malam.
“Pupurlu aje tebel. Bukan lonte begitu?”
Mbak Neni tak tahan, segera menjambak Bu Tuti. Tapi niat perempuan langsing itu tak kesampain. Segala tetangga dan pak rt yang sebenarnya sudah mengerubung sejak tadi segera memisahkan.

Tapi jangan kau sangka hubungan mereka melulu buruk. Bu Tuti akan berubah selembut putri salju bila memerlukan uang. Dia tahu Cuma Mbak Neni yang bersedia jadi rentennya. Tapi kau jangan heran pula kalau Bu Tuti tak mampu berbicara pelan. Karena semua orang di kampung itu harus berbicara setengah berteriak kepada yang lain.

Cuma di kampung ini pula tukang roti dan tukang bakso bersahabat. Keduanya tak berebut untuk membunyikan kentongan atau piring dan juga terompet kecil, untuk menandakan kehadiran mereka. Lalu ada tukang getuk lindri yang memasang set stereo di gerobaknya sekonyongkonyong.

Saturday, March 18, 2006

Yer Blues

Yes I'm lonely wanna die
Yes I'm lonely wanna die
If I ain't dead already
Ooh girl you know the reason why.
In the morning wanna die
In the evening wanna die
If I ain't dead already
Ooh girl you know the reason why.
My mother was of the sky
My father was of the earth
But I am of the universe
And you know what it's worth
I'm lonely wanna die
If I ain't dead already
Ooh girl you know the reason why.

The eagle picks my eye
The worm he licks my bone
I feel so suicidal
Just like Dylan's Mr. Jones
Lonely wanna die
If I ain't dead already
Ooh girl you know the reason why.
Black cloud crossed my mind
Blue mist round my soul
Feel so suicidal
Even hate my rock and roll
Wanna die yeah wanna die
If I ain't dead already
Ooh girl you know the reason why.


-Yer Blues (John Lennon, 1968)

blues

Sudah berapa kali kau kutuki pagi.
(Tidak, kau tak akan mati dulu)
Mestinya hujan yang membuatmu mati
(Tidak, kau akan bersua matari pagi)
Tak ada keabadian
(Ya, yang ada adalah duka)

-JL

Senja di Stasion

Ketika aku hendak meninggalkannya, dia mendekap erat sekujur badan ini
Ketika aku berhasil melepaskan dekapannya, dia meraih kakiku. Duduk bersimpuh menangis,
“Janganlah kau pergi, Ma.”
Aku mesti berangkat.
“Tak cintakah kau kepadaku?”
Sedikit mengarang, maka dia diam memegang erat ujung rokku.
“Jangan kau tinggal aku, Ma.”
“Pakailah baju terbaikmu. Kita akan naik sepur.”
Sampai stasion dia sudah lupa pernah meneteskan air mata
(Semua penumpang harap naik. Kereta akan segera diberangkatkan)
Kabin beku, kabin kaku. Jendela muram dan kipas angin menjerit membiru. Baja berdecit dan lokomotif melenguh.
Aku lihat tangan terbuka menerobos jendela, menyampaikan salam di lentik jemari yang menghilang dibawa matari menjelang magrib.
Aku melihat senja menelan anakku.

Tuesday, March 14, 2006

Sepeda

Kemarin ayah membelikan aku sepeda baru.
Pagipagi benar dia sudah membangunkan aku.
“Ada kejutan untuk ulang tahunmu, nak.”
Kami menumpang angkutan ke Manggarai. Lalu menawar di satu dua toko.
Harga pas, dan kami menyewa bajaj.
Menaruh sepeda di atapnya.
Lalu aku ingat sepeda kami terbaring bercecer darah.
Ayah dan aku tak pulang ke rumah itu hari.

Sunday, March 12, 2006

dongeng

ini kali tak ada dongeng untukmu, nak
minumlah susumu
tidurlah lekaslekas
ibu mesti merayapi malam
esok, kau akan jadi lelaki

bangunlah, nak. bangun
kita adalah mimpi yang akan pudar

Dua Pesan Pendek

Pagi itu dia menerima dua pesan pendek dalam telepon selulernya. Tak ingat betul kapan teleponnya berbunyi, yang menandakan ada pesan masuk. Tapi yang pasti dia masih tertidur menjelang subuh tadi. Ada dua nama yang familiar betul dia kenal, tapi jarang ia sambangi kabarnya beberapa bulan belakangan. Pertama dari adiknya, dan yang kedua Mansur. Adiknya bilang dalam pesan pendek, “Aku akan tur setahun ini, kapan kakak bisa mampir. Sudah kangen, kakak lama tak datang ke sini.” Selanjutnya dari Mansur. Katanya dia punya bayi baru yang lahir tengah malam tadi. Namanya Bayu, sehat walafiat lahirnya. Mansur juga tanya, kapan dia akan mampir ke rumahnya.

Dia yakin pesan singkat itu ditulis oleh empunya dalam keadaan bahagia. Dan si empunya pesan pasti ingin berbagai kebahagiaan dengannya. Mereka juga samasama terbangun sampai tengah malam karena sangat gembira dan menulis pesan itu kemudian, subuhsubuh Tapi kabar gembira itu tak ayal menyulut air matanya. Dia tergugu menahan tangis. Memendam sedih dan harunya dalam bahu yang bergetar hebat. Dia menutup matanya rapatrapat dengan kepalan kedua tangan. Tak rela betul dia sampai berlinangan airmata.

Dari tepi tempat tidur tempat ia duduk, dibalikkan badannya. Dia melihat istrinya yang masih pulas tertidur. Di sebelahnya, ada anak pertama mereka yang baru berusia tiga tahun. Putri namanya. Tidurnya juga pulas dengan jempol tangan menempel di bibirnya. Ah, susah betul dia dan istrinya mengatasi kebiasaan buruk itu. Berkalikali si istri mendispilinkan Putri. Kadang dia pikir terlalu keras usaha istrinya itu. Kadang kasihan juga dia melihat Putri yang menangis habis dimarahi ibunya. Kadang ia menghampiri Putri lantas memeluknya dengan erat, lalu menggendongnya ke ruang belakang. Habis itu itu, kadang ia menghibur, mengajaknya kembali bermain. Kalau tawa sudah terdengar barulah ia mulai perannya sebagai bapak. Ibu tak mau kamu menghisap jari kamu. Karena itu dia marah pada kamu.

Pagi belum lagi terang. Tapi dia masih takut untuk mengibaskan tirai jendela. Dia tak mau tidur anak dan istrinya terganggu cuma karena cahaya matahari nyelonong ke tempat tidur mereka. Dia bangun mengenakan kembali kemeja yang digantungkan malam tadi. Panas tadi malam.

Dia bergeser pelan sekali, merangkak, mencium Putri. Kemudian dia menciumnya lagi. Seakan ingin memastikan bibirnya telah menyentuh pipi Putri. Kepada istrinya dia mengusap kepalanya dengan tangan. Lirih ia berucap, aku cinta kamu. Ia kembaili meraih teleponnya, membuka dua pesan yang tadi telah terbaca. Dengan napas panjang dan helaan sekali lagi dia menghapus pesanpesan yang ada di dalamnya. Dia tinggalkan itu telepon di meja dekat tempat tidur.

Dia keluar rumah menuju laut. Naik bus dan melihat etalase yang dekil sepanjang perjalanan. Melihat mobilmobil yang melintas dan bertabrakan, melihat orangorang yang lalulalang dan bertubrukan, melihat awanawan yang melayang dan menutup matari, melihat asap knalpot yang membungbung tinggi dan pecah dihantam angin. Tapi semuanya bisu. Dia mencoba mendengarkan sumpah serapah kepala yang menyebul dari jendela mobil. Dia yang mengutuk kepada pengendara motor yang sudah melesat jauh ke depan setelah menyenggol itu mobil. Dia mencoba mendengarkan lagu apa yang dilantunkan dua orang di dalam bus. Dia mencoba mendengarkan genjreng gitar yang dicorongkan ke jendela mobil mewah oleh pemuda bertubuh kerempeng. Dia juga yakin betul tiupan peluit polisi nyaring bunyinya. Dia yakin betul bunyi peluit itu memekakkan telinga meski si polisi tetap berairmuka tenang dan terus melambailambaikan tangannya. Uang receh yang tertampung dalam gelas plastik itu pasti berbunyi ketika terombangambing bersama pemiliknya yang ringkih dan bau. Tapi ia tak mendengar suatu apa. Saat memicingkan matanya, dia berbisik kepada tuhan, “Tuhan kembalikan pendengaranku. Sekali ini saja,”

Belum lagi terkabul doanya, dia sudah sampai tepian laut. Bus yang membawanya ke situ sudah lama berlalu, meninggalkan dia termangu sendirian menatap laut. Angin masih membawa sisasisa dingin yang berkelana sendirian dari tengah laut sejak malam tadi. Sisa fajar tadi pagi masih tersisa di pojok pandangan jauhnya. Tapi laut masih sebiru biasanya. Buih putih yang datang dari tengah laut menamparnampar pinggiran pantai. Tapi yang dia lihat adalah lambaian tangan yang mengajaknya bertamasya ke tengah laut.

Semula langkahnya mantap menuju laut. Pasir kering dan sentengah basah bisa dirasakan kakinya yang tak lagi terbungkus sepatu. Gelombang kecil menyentuh kakinya. Dingin menyentakkan pikiran. Sejenak ia berhenti. Menunggu deraian gelombang lainnya datang. Gelombanggelombang datang, tapi bukan dingin lagi yang dia bawa. Kehangatan menjalar terus ke betisnya, lalu pahanya. Lalu sekujur tubuhnya terasa sangat hangat. Dan itu jadi semacam penanda baginya untuk terus berjalan. Itu menjadi semacam penguat untuk meneruskan niatnya menyambangi laut.

Sekarang batas air sudah mencapai pinggangnya. Langkahnya semakin berat. Tak cuma kaki, tangannya kini sudah ikut menyibak air. Berkalikali ia terjerembab karena tak kuat menahan gelombang. Tubuhnya basah tapi tak sampai tenggelam. Tapi dia kemudian bangkit lagi dan menyongsong gelombang berikutnya. Air semakin meninggi. Sekarang tiap kali terjerembab dia pasti tenggelam. Seteguk dua teguk air asin ikut tertelan. Lalu dia merasa tenggorokannya terbakar. Kini ia sudah tak lagi merasakan pasir sebagai pijakannya. Dia terombangambing gelombang. Dia merasakan tangantangan mengamit badannya. Mengajaknya ikut ke dalam. Tiap kali dia ingin keluar mengambil napas, muncul lagi tangantangan itu. Dan tangantangan itu samakin kokoh. Dia memutuskan untuk tak lagi berontak, membiarkan tangantangan itu berkuasa penuh terhadap dirinya. Membawa dia semakin ke tengah laut dan kemudian ke dalamnya.

* * *

Tengah malam itu dia tak mampu memejamkan matanya. Dia baru saja terbangun dari mimpi. Dia melihat kakak satusatunya terbakar api. Tubuh berapi itu berlarilari ke kanan dan ke kiri, tapi dia tak mampu memadamkan api yang semakin membesar. Api menelan kakaknya.

Sebenarnya dia tak benarbenar punya kakak. Dia orang rantau di kota ini. Lalu berkenalan dengan lelaki yang kemudian mendaulatkan dirinya sendiri sebagai kakak. Dia suka suaranya dan terus memujinya sebagai biduan nomor wahid. Ah, kakak. Tahu betul dia bagaimana menyenangkan hatinya. Lalu dia juga menyuruhnya bergabung dengan kelompok paduan suara, lalu kelompok musik, lalu dia diperkenalkan dengan seorang temen yang kelak membawanya ke panggung kafe. Dari panggung kafe itu pula dia dapat kontrak membuat album sendiri. Perjalanannya sangat mudah, tidak sesulit apa yang pernah ia bayangkan. Tidak seperti cerita artis yang pernah ia baca di tabloid.

Sebentar ia mengusap keringat yang menitik di dahinya, menarik napas dalamdalam dan bergeser ke tepi tempat tidur. Dia melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Duh, kakak, bukan salahku kau jauh dari telinga dan mata. Sudah berulang kali dia menelepon kakaknya itu, menanyakan kabarnya. Dan yang didengar di ujung sana adalah seorang lakilaki yang sama sekali tak berubah sejak pertama kali dia bertemu. Suara yang amat ramah dan membuatnya nyaman. Kak, mampirlah ke rumah. Rupanya kau tak sudi mampir ke bilikku. Dia tertawa keras dan bersuara ramah setelahnya, benjanji dengan amat meyakinkan, aku pasti datang. Pekan depan ya.

Dia mengenang kariernya yang sejak itu melejit. Awalnya tiap bulan dia sempatkan menelepon kakak. Andai lowong dia pun tak segan mampir dan memberi bingkisan. Tapi makin lama makin sibuk. Andai sampai rumah, dia pasti dalam keadaan sangat lelah. Karena itulah dia berulangulang merajuk kakak agar mampir ke rumah. Sesekali kakak datang dan ngobrol dan bercanda dan bicara serius, seperti dahulu. Tapi lepas itu, kakak melesak ke bumi. Tak terdengar kabar berita.

Ia kemudian mendengar kakak menikah. Betapa marahnya dia. Tapi kakak begitu tahu bagaimana meredakan kemarahannya. Marahnya sontak meredup begitu tutur diselingi canda keluar dari mulutnya. Dia diperkenalkan dengan istrinya, yang anak petani. Cantik, putih kulitnya, sederhana tingkahnya. Dia begitu suka dengan “iparnya” itu. Kakak bilang cuma anak petani kecil saja yang bisa ia jadikan istri. Yang stratanya lebih tinggi katanya lebih mahal biayanya dan lebih rumit menikmatinya. Ah, kakak. Dia memang terlalu sederhana, meskipun bagi dia yang cuma anak rantau.

Cuma mimpi, mungkin ini karena udara panas yang melekap di kamarnya. Atau mungkin karena ia gugup menghadapi esok, hari pertama ia memulai rangkaian tur luar kotanya. Ini sukses besar baginya. Dan ia tentu ingin bercerita kepada kepada orangorang yang tercinta. Dia ingin berbagi gugup dan keluh kesah. Menjelang subuh dia menulis pesan pendek itu, “Aku akan tur setahun ini, kapan kakak bisa mampir. Sudah kangen, kakak lama tak datang ke sini.”

Dia kemudian berusaha melanjutkan tidurnya kembali. Ah, matahari sudah terbit sementara matanya belum terbenam dari tengah malam tadi. Dia pasti mengantuk sekali nanti. Mudahmudahan suaranya tak terganggu.

* * *

Soresore Mansur menerima telepon dari tetangganya. Istrinya sudah siap melahirkan. Air ketuban telah pecah, mulasnya gawat sampai berteriakteriak. Tetangga yang lain sudah mengantarkannya ke Bidan Liana. Mansur segera lapor atasan, minta jadwal pulangnya dipercepat. Istrinya mau melahirkan. Motor kreditannya itu dipacu kencangkencang menuju rumahnya. Tapi di tengah jalan dia baru ingat dan membelokkan motor ke kanan menuju Bidan Liana, tempat istrinya menunggu kelahiran jabang bayi pertama mereka.

Tapi antara air ketuban pecah dan kelahiran ternyata ada jarak yang jauh yang tak terlihat. Sungguh lama betul rasanya menunggu proses kelahiran. Dia menunggu dengan gelisah di luar klinik. Hujan tampaknya akan turun, karena angin malam berulang kali menamparnya. Menyisakan dingin di wajah tirusnya.

Dia tak mengerti apa itu “bukaan” saat bidan menyebut istrinya sudah bukaan 10. Tengah malam lewat sedikit, ejanan istrinya tambah hebat, sementara suster dan bidan yang ada di kamar tak kalah gaduh. Sebagian menyuruh istrinya tenang yang lain menyuruhnya mengejan dengan kuat. Dan bersamaan dengan teriakan terkeras, maka bayi itu lahir. Nyaring sekali tangisnya. Pertamatama bidan yang keluar, katanya tunggu sebentar bayinya sedang dibersihkan. Sembari melengos bidan itu bertanya apa dia sudah punya nama. Dia tak punya nama, tapi angin bertiup dengan keras. Karena itu nama Bayu pertama kali muncul di pikirannya.

Begitu masuk ada hangat yang menyergap wajah dinginnya. Hangat dari senyuman istrinya, dari tangis bayinya, dari ruangan yang telah menyaksikan sebuah kehidupan dilahirkan. Bayu saja dik, katanya. Namanya bayu.

Menjelang subuh matanya berat. Tapi dengungan azan dan air wudu segera menyegarkan kembali wajahnya untuk sesaat. Sebelum tertidur dengan memangku bayinya, ia sempat berkirim pesan kepada sahabat baiknya, “Bayiku lahir. Bayu namanya. Doakan biar gagah seperti kamu ya. Hayo mampir kamu udah lama nggak datang.” Pagipagi sinar matahari menembus bilik bidan itu. Sepotong sinarnya menempel di ketiga tubuh yang tertidur lelap itu.

Untuk Lupa

Mat Rojak bukan asli orang sini. Kampungnya ada jauh di seberang kampung kami, menyeberang selajur jalan raya yang jarang dilalui kendaraan. Tapi dia selalu senantiasa ada di ujung gang kampong kami, kadang dia juga berkumpul di bawah pohon mangga yang senantiasa rindang bersama bapakbapak di kampong ini yang tampak sudah diakrabinya betul betul, kadangkadang juga, dalam keadaan sadar, dia menjadi muazin di musala kecil di kampong ini. Kalau aku sebut dalam keadaan sadar tadi, ini sematamata kerena dia juga kerap mabuk. Tapi dia tipe pemabuk yang tak mau berbuat onar di kampong kami. Jam mabuknya pun hamper bisa dipastikan. Pasti di akhir pekan dan di atas tengah malam, bahkan menjelang pagi. Dia akan tertidur pulas di pos jaga dekat portal.

Orang-orang tua di kampung kami mestinya mafhum asal usul Mat Rojak, tapi kami yang masih muda tak banyak ingin tahu dari mana dia berasal. Kami juga tak ingin tahu hubungan kekerabatan Mat Rojak dengan orangorang di kampung ini. Bagi kami yang muda, dia tak lebih dari makelar yang biasabiasa saja. Ah sulit betul memang melukiskan “biasabiasa” sebagai atribut Mat Rojak. Biasa saja artinya dia tidak merugikan kampung kami. Biasa juga artinya ia tak terlalu membawa manfaat bagi kampung ini. Yang kami perlu tahu adalah dia tak mengganggu kami, tidak juga menimbulkan belas kasih kami. Jerih payahnya sebagai makelar sepertinya cukup untuk biaya makan Mat Rojak seharihari. Oh ya Mat Rojak membujang. Kadang status ini pula yang sering kali menjadi bahan ejekan orangorang kepadanya. Bujang lapuk, kata orang seberang. Mulai dari Haji Imran sampai dengan bapak kurang ajar, Cing Enih.

Begitulah pekerjaan “resminya”. Satu hari Mat Rojak tergopohgopoh memboyong televisi, lain hari dia membawa kipas angin berkaki satu. Lain hari dia membawa satu set tape stereo mentereng, tapi kadang dia juga cuma membawa satu set panci. Kata dia itu bukan sembarang panci. Itu panci, panci Teflon, tanpa perlu minyak goreng untuk memasak. Teflon itu kata dia tanpa tahu maknanya. Kadangkadang dia bahkan tak membawa apaapa. cuma sendirian berbaringbaring malas di pos dekat portal itu. Tapi kadang dia juga belepotan adonan semen, karena ikut menjadi buruh bangunan dadakan atau memegang arit dan sibuk memotong rumput di halaman Pak Roni, orang terkaya di kampung kami.

Tapi angin terus berembus meniup dedaunan yang bergantung di ranting dan dahan pohon mangga yang setia menaungi tempat berkumpulnya Mat Rojak dan bapakbapak di kampung kami. Satu dua lembar daun jatuh menyusul beberapa lembar lainnya yang duluan bersua tanah dan baunya. Rerumputan yang Mat Rojak potong bulan lalu sudah tumbuh kembali. Hijau betul. Anakanak yang kerap mengganggu Mat Rojak, yang sering mengganggunya atau meminta bantuannya atau yang kerap meminta dia untuk menggendong, sudah besarbesar. Selepas sekolah mereka bergabung bersama bapakbapak mereka berkumpul di bawah pohon mangga itu. Mereka kebanyakan menganggur atau menyerahkan nasib begitu saja kepada belas kasih perusahaanperusahaan besar. Kini bapak dan anak bisa menghisap merek rokok yang sama dan menyeruput kopi dari cangkir yang sama, di bawah pohon mangga.

Dan Pak Marjo yang sering betul menyambangi pohon itu, dan juga menghabiskan deru napas tuanya di musala, meninggal dunia. Sedih betul kami kehilangan tetua kampung seperti dia, yang ramah kepada siapa pun. Tak anak muda, tak orang tua. Tak ada lelaki, tak ada juga perempuan. Semuanya menangis, bersamaan dengan kedutan maut malaikat pencabut nyawa yang menjemput Pak Marjo.

Meninggalnya Pak Marjo tak cuma membekaskan kesedihan di kampung kami. Belum seminggu setelah meninggalnya, kampung kami terusik. Dan sumber ketidaknyamanan itu tak lain adalah Mat Rojak. Beberapa hari setelah kematian itu, Mat Rojak rajin berkeliling kampung kami dengan sepeda ontel mengkilap milik Pak Marjo. Dia tak Cuma mengendarai sepeda jangkung itu, tapi juga memamerkan kemanamana. Dia bercerita kepada kami, betapa senangnya berkelana kemanamana tanpa harus berjalan. Dia bisa berkunjung tak Cuma ke kampung kami, tapi juga kampung sebelahnya. Dia bahkan berani berkunjung jauh ke pusat kota dengan sepeda ontel itu. Saat ditanya soal asalusul sepeda itu, dia menjawab ringan, Pak Marjo memberikan kepadanya beberapa hari sebelum meninggal. Kata Mat Rojak sepeda itu diberikan Pak Marjo sebagai hadiah karena dia rajin membersihkan musala dan hampir berbulanbulan tak lagi mabuk. Apa yang dikatakan Mat Rojak memang betul sepenuhnya. Dia tak pernah berkumpul lagi dengan para pemabuk dan rajin mengumandangkan azan, paling tidak untuk salat zuhur, asar, dan magrib. Tapi kami sama sekali tak tahu dan sanksi dengan bagian akhir ceritanya, bahwa Pak Marjo benarbenar memberikan sepeda itu kepadanya. Parahnya lagi, tak satu orang pun yang bisa kami tanyakan untuk memastikan identitas sepeda itu, karena Pak Marjo praktis hidup sendirian setelah istrinya meninggal. Anak dia tak punya. Untuk keperluan seharihari dia menyerahkan tubuhnya yang renta untuk diberi makanan oleh pembantunya.

Lamalama kami jengah juga. Mungkin karena belum mendapat jawaban dari misteri sepeda ontel Pak Marjo, mungkin juga karena aksi Mat Rojak yang senantiasa memakai sepeda itu kemanamana. Bahkan untuk menyambangi satu rumah ke rumah lainnya yang berjarak kurang dari lima meter, dia memakai sepeda itu. Dia senantiasa melekat dengan sepeda itu. Mungkin juga karena kami cemburu saja.

Pernah suatu kali bapakbapak yang biasa berkumpul di pohon mangga itu bermufakat untuk menghadirkan Mat Rojak di tengahtengah mereka dan menanyainya mengenai identitas sepeda itu. Seperti persidangan di TV-lah. Tapi rencana itu gagal, karena kelompok ini tak bersepakat siapa yang akan memulai. Siapakah yang mau maju dan mengundang Mat Rojak dalam pertemuan “formal” mereka.

Agak menggelikan memang rencana ini. Karena kami, warga kampung sini, tak biasa merundingkan masalah. Kami tak biasa melontarkan gagasan dari satu kepala ke kepala lainnya untuk dicarikan jalan tengahnya. Kami lebih menyerahkan masalah kepada waktu, “Kau tahulah apa yang mesti diperbuat dan mana yang tidak,” begitulah kirakira filosofinya. “Persidangan” seperti ini benarbenar menggelikan.

Lain dengan bapakbapak mereka yang lebih menjaga perasaan Mat Rojak, pemuda tanggung dan setengah dewasa lebih ekspresif melontarkan ketidaksukaan mereka kepada Mat Rojak. Sering betul mereka melontarkan ejekan menghina dan sindiran yang menusuk hati. Sepeda bau mayat, itu kata mereka kepada Mat Rojak.

Mat Rojak sendiri sebenarnya tak membangun tembok dengan temantemannya, bapakbapak kampung sini. Tapi serasa ada celah menganga di antara mereka, bahkan saat mereka samasama menghirup kopi di bawah pohon rambutan itu. Dalam sepekan, sudah bisa dihitung kemunculannya di kampung ini. Semakin jarang. Sementara itu di bawah pohon mangga, cerita tentang Mat Rojak terus beranakpinak. Ada cerita tentang Mat Rojak yang pernah menilep uang sumbangan, atau curang saat menjadi makelar penjualan Tape merek Sanyo milik seorang tetangga, atau tangan Mat Rojak yang jahil pernah menyentuh pantat gadis kecil di sini.

Sementara itu mereka yang masih muda sudah bermufakat, akan menghakimi Mat Rojak. Mereka akan memaksa Mat Rojak menceritakan bagaimana itu sepeda bisa sampai berpindah tangan. Lebih jauh, mereka juga punya pikiran lain. Mereka ingin tahu apakah Pak Marjo meninggal dengan wajar. mereka yakin di mulut Mat Rojak ada semua jawaban.

Pagipagi mereka sudah berkumpul di pohon Mangga. Tak seperti biasanya di bawah pohon mangga itu para lelaki berkumpul penuh. Para pemuda bersepakat untuk menyambangi rumah Mat Rojak di kampung sebelah. Bapakbapak tak bisa dibilang setuju dengan rencana anakanak mereka itu, tapi mereka juga tak bisa dibilang menentang. Mereka mewantiwanti anaknya agar tak mengganggu kampung orang, tapi juga menitip satu dua pertanyaan untuk membogkar misteri sepeda Mat Rojak.

Maka berangkatlah rombongan pemuda itu melewatkan matahari siang di kampung kami. Menjelang asar mereka baru kembali. Dan terlihat mukamuka mereka murung sementara mulut terkunci rapatrapat. Satu bapak memberanikan diri bertanya, ada apa? Kenapa butuh waktu lama sekali untuk menyambangi rumah Mat Rojak.

Dan di bawah pohon mangga itu para pemuda ini bercerita perjalanan mereka menemui Mat Rojak. Kata mereka Mat Rojak meninggal terhantam truk yang melintas jalan satu lajur yang jarang dilalui kendaraan itu, malam kemarin. Sepedanya gepeng dan penyok. Bangkai sepeda teronggok di depan rumahnya begitu saja. Dan itu siang mereka turut mengantarkan jenazah Mat Rojak sampai ke pekuburan.

Dan tampaknya kampung kami memang mudah sekali melupakan orang. Tak sampai seminggu nama Mat Rojak sudah hilang sama sekali, tak pernah beredar lagi dalam perbincangan di bawah pohon mangga. Padahal mereka yang berkumpul di bawahnya semakin banyak. Hoya sudahkah aku bilang, banyak pemuda di sini yang menjadi makelar. Pekerjaan susah didapat kata mereka. Karena itulah mereka beralih menjadi penghubung orang yang ingin menjual barang dengan orang yang kelebihan uang, tapi belum tentu membutuhkan barangnya. Mereka sepertinya mengikut jejak Mat Rojak.


Untuk Lupa

Perempuan di Langit

Ini adalah sesuatu yang ingin kau lakukan saat berusia 5 tahun. Kau ingin mengendarai motor dan mengebut dengan cepat. Kau pun ingin naik pesawat terbang. Ingin menembus langit yang kaulihat berwarna biru. Lalu lima tahun berikutnya impianmu berbeda. Kau Cuma ingin tampil jumawa di depan kawankawan. Sedikit demi sedikit bolehlah kepingin betul jadi kapten tim sepakbola dan memimpin rekanrekan bermain petak umpet. Satu tahun berselang kau ingin bermesraan dengan gadis yang belum lagi kuncup susunya.

Lima belas tahun kemudian kehidupan sudah membasuhmu dengan terik dan hujan. Kau mengenal rupiah dan bagaimana susahnya mempertahankan uang di mal yang kau kunjungi saban stres atau gajian di awal bulan. Emak sudah kau kasih jatah uang bulanan. 2 lembar limapuluhribuan sudah kau selip di bawah tumpukan baju di lemari. Kau dorong itu uang lebih ke dalam lagi. Supaya tak tampak. Dua lembaran itu menambah tumpukan lainnya yang sudah disisihkan duluan. Hatihati dia juga sudah menyisihkan uang untuk ongkos untuk transport sebulan.

Bulan baru menginjak kaki pada hari yang pertama, tapi kau merasa orang paling kaya sebumi. Mau kau apakan itu uang sisanya.

Kehidupan semakin kejam dan tidak menarik. Dia tak pandai bergaul. Ketawanya aneh hingga tak enak didengar, selera humornya payah. Sewaktuwaktu ia berniat memperbaiki wawasan humor. Dia beli dua tiga buku humor berukuran kantong. Dia juga baca majalah lelaki. Kata teman yang tak terlalu akrab kepadanya, majalahmajalah itu bisa meng-upgrade kemampuan sosialnya. Hmhmh. Setengah meragukan separuh percaya dia betulbetul beli itu majalah. Tapi celakanya otaknya tak cemerlangcemerlang amat. Pernah waktu SD dia tes IQ. Hasilnya dia terima di sampul cokelat bertulis rahasia. Di dalamnya, matanya cuma terantup pada angka 88 saja, entah skala apa.

Jadilah apa yang dia baca itu cuma melintas begitu saja. Saat berada di keliling temannya, tak satu pun lelucon yang dia ingat. Yang dia ingat cuma ilustrasinya saja, gambar pemuda yang lepas matanya dari kepala karena terbelalak melihat gadis di sebelahnya. Dia senyumsenyum sendiri dan ditinggal pergi temantemannya.

Ho ya, gaya ketawanya juga sungguh tak enak. Pernah mendengar seorang ibu mengejan waktu melahirkan? Persis seperti itu. Cuma bedanya kamu mendengarkan itu berulangulang kali dalam beberapa menit. Dan itu menyakitkan. Karena itu juga temantemannya menyingkir.

Tapi kemudian dia sadar betul kekurangannya. Setelah merenung dalamdalam, dia pun sudah sampai pada kesimpulan kelemahannya itu sulit diatasi. Untuk melampiaskannya jadilah dia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Ada dua hal yang menyebabkan dia suka diperpustakaan. Pertama karena udara di sana lebih sejuk dan kedua karena sepi. Tempat itu seperti surga bila dibanding rumahnya yang kecil dan banyak penghuninya—dia punya dua kakak dan empat adik, plus dua keponakan.

Cuma bagian roman saja yang dia suka. Buku roman adalah satusatunya buku yang mudah ia cerna. Kadangkadang ia juga menyelinap ke bagian anakanak. Di sini bukubukunya juga lebih bersahabat untuk otaknya yang kecil itu. Ia suka roman zaman Balai Pustaka sampai roman 70-an. Ia suka buku si Bongkok dari Notredame, Les Miserables, Oliver Twist, Hucleberry Finn, semuanya dalam versi terjemahan tentunya. Dia juga suka buku trio detektif dan lima sekawan. Imajinasinya benarbenar mengembara bersama tokohtokoh di buku ini. Belum genap satu tahun, dia sudah hapal isi lemari roman di perpustakaan.

Beranjak ke lemari lain, ke bagian filsafat, sejarah, ilmu pengetahuan alam, ia tak berani. Tapi di bagian roman tak ada lagi buku baru. Suatu saat dia mencoba perpustakaan baru. Dekat rumahnya. Lebih besar ukurannya, lebih banyak koleksinya. Tapi di situ dia tak bisa memilih bukubuku yang disukai. Dia mesti mencatat buku yang diinginkan, tanpa melihat gambar sampul dan tebalnya halaman buku, dan menyerahkannya pada petugas perpustakaan. Sungguh bukan seperti yang biasa ia lakukan di perpustakaan sebelumnya. Dia tak betah. Dan untuk beberapa waktu hobi barunya itu terhenti.

Dan gantinya dia menemukan kesenangan lain. Menyusur jalanjalan di Jakarta. Ia suka Jalan Diponegoro yang rimbun. Berhenti sesaat di Taman Suropati. Lalu menyusur lagi ke taman Jalan Lembang. Dia juga suka sekitar blok M yang juga masih teduh. Dalam waktu singkat dia sudah kenal betul tamantaman kota. Dia bahkan sudah berencana untuk membuat jadwal kunjungan ke tamantaman itu. Sekadar dudukduduk saja melihat orangorang yang melintas. Tidak menghabiskan waktu dengan membaca tentunya. Tidak seperti bayangannya ketika di perpustakaan pertama. Membaca di taman dengan sedikit bekal kudapan. Perkaranya dia tak punya cukup uang untuk membeli buku dan tak punya teman untuk dipinjam bukunya dan juga tak punya kartu perpustakaan yang bisa meminjamkannya buku.

Tapi kemudian dia ditodong preman. uangnya memang tak seberapa, cuma tigaribu rupiah saja yang terampas. Tapi dasar penakut, dia jadi trauma mengunjungi taman. Dia selalu waswas bila ada orang yang menghapirinya di tempat yang sepi. Dan hobinya lagilagi terhenti. Dia tambah membenci kehidupan. Kehidupan sudah tak ramah dulunya. Dan sekarang kehidupan juga kejam.

Badannya bergetar hebat habis dipalak. Jantungnya terus memompa, padahal dia tak sanggup lagi berdiri. Masih terbayang betul amarah dalam wajah si penodong, bau alkohol yang menyembur dan aroma masam dari badannya. Singkatnya dia tak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumput taman mana pun.

Dan dia telah dewasa sekarang. Punya pekerjaan bergaji enamratusribu sebulan. dipotong kanandankiri dia punya total 75 ribu setiap bulan untuk dihamburhamburkan. Tapi karena kehidupan kejam dan tidak ramah, dan dia tak punya teman untuk ditraktir maka 75 ribu itu hampir utuh setiap bulannya.

Entah bagaimana kemudian dia bisa sampai ke bioskop. Mungkin itu dari kebiasaan dia ketika suka jalanjalan dan melihat poster di bioskop yang besarbesar itu. Tapi ada kemungkinan juga, dia ke bioskop karena dia sering melihat jajaran iklan teater di sebuah koran yang dilanggan kantornya tiap sore.

Habis gajian dia kemudian memberanikan diri pergi ke bioskop. Dia malu betul sebenarnya mengantri. Dasar pengecut. Begitu masuk pintu bioskop dengan cepat betul ia mengamati suasana, sambil berjalan. Hebat betul dia memang berpurapura. Sekali lihat, tanpa ekspresi wajah yang berarti dia menuju satpam yang ada dekat pintu lainnya. “Di mana toiletnya, Pak.” Dia berlaga pilon sembari ngeloyor ke toilet. Renungmerenung, jadi inilah hasil pengamatannya selama beberapa detik mulai dari pintu masuk bioskop sampai meja satpam tempat dia bertanya. Cuma ada sedikit orang yang ada gedung itu. Cuma ada sedikit kerumunan dekat bangku. Tapi tak ada antrean di depan loket. Itu berarti dia aman. Dia mestinya tidak canggung membeli tiket bioskop… untuk yang pertama kalinya. Si penjaga loket bilang nomor berapa sambil mengajukan kertas berisi daftar bangku kosong. Ah, ternyata masih banyak yang kosong toh. Ya kebetulan. Dia langsung memilih bangku paling tengah. Tengah secara horisontal dan vertikal. Pokoknya benarbenar tengah.

Sofa bioskop itu empuk sekali. Dia senang betul dengan reaksi pantatnya yang tepos begitu menghajar sofa. Hmhmh empuk dan dia sekarang menikmati film itu. Film drama yang membuatnya menitikkan airmata. Saat si lakilaki mencium perempuan di akhir film.

Sejak itu dia melihat banyak sekali ending dalam film. Ada yang berakhir dengan kematian, kenestapaan, perpisahan, dan tak jarang juga kebahagiaan. Dan itu kadang ia renungi lamalama. Makin lama merenung makin pesimistis saja ia terhadap kehidupan ini. “Tak ada yang konsisten di dunia ini, makin keras kau berusaha menaklukkan dunia ini maka akan semakin cepat juga dunia ini menaklukkanmu. Tak ada formula, tak ada pola, semuanya acak. Setiap usaha yang sama tak menghasilkan buah yang sama. Persis seperti filmfilm itu.

Semakin sering dia menonton filmfilm itu semakin kuat pula keinginannya untuk punya perempuan. Pacar. Awalnya sekadar ingin tampak seperti di filmfilm itu. Tapi lamalama ia kebelet betul ingin punya pacar. Dan satu per satu kemudian ia memeriksa semua kenalan teman perempuannya. Ada Susan yang berkerudung tapi cantik, ada juga Rita yang dia suka betul gayanya tapi kurang bertampang manis. Ada juga gadis yang tinggal ujung gang rumahnya. Orangnya cantik, tapi ia tak tahu bagaimana memulai usaha pendekatannya. Dia pemalu dan penakut. Jadi selama berbulanbulan bahkan hampir mencapai bilangan dua tahun dia melampiaskan air mata dan kasih sayang di bioskop saja. Emaknya tak mungkin tahu apa yang dia rasakan. Dia juga enggan betul membaginya.

Sampai suatu saat dia bertemu dengan perempuan ini. Samasama sendiri di bioskop. Dia sudah duluan duduk di tempat yang sepi. Tentu dia memilih tempat yang sepi, karena ia malas betul ngobrol dengan orang atau tampak terlalu mencolok di depan orang. Tapi perempuan ini datang menghampirinya. Mengajak dia ngobrol. Dan tak lama mereka sudah berdebat seru tentang siapakah yang paling bersalah dalam tragedi Siti Nurbaya. Betapa malangnya nasib Esmeralda.

Sejenak waktu pertunjukkan memang memisahkan mereka. Dia seperti biasa duduk di tengah. Tengah secara horizontal dan tengah secara vertical, sementara itu si perempuan memilih bangku paling belakang. Lebih asik katanya. Usai pertunjukkan mereka bertemu lagi dan membicarakan seribu topic tak penting dari filmfilm yang pernah mereka tonton atau tokoh roman yang mereka baca atau sepasang kekasih yang melintas di depan mereka, atau gambar seronok di tabloid yang mereka beli dan samasama baca. Dia pernah bertanya,

“Apa kamu pernah kursus menerbangkan pesawat?”
“Tak… Kenapa?”
“Kamu keturunan burungburung purbakala?”
“Bukan juga.”
“Ibumukah yang punya darah bidadari?”
“Bukan.”
“Aku seperti diajak terbang, berada di awan”

Untuk sesaat si perempuan diam. Diraihnya itu kepala dan didekatkan bibirnya. Dua makhluk itu pun berciuman. Dia merasa seperti dihunjam beribu mortar, seperti merasakan serbuan halilintar yang bergemuruh. Dia merasa seperti gumpalan lava yang bergelegak di perut bumi, lantas menggumpal, menerobos kulit bumi, menyeruak ke permukaan lantas melesat ke angkasa membelah langit. Membuncah dan menggelegar, pecah serupa kembang api yang terang berderang menantang kegelapan malam.

Dari mana itu katakata berasal. Dari mana ia belajar menggombal sedemikian rupa. Dari mana ia belajar melucu semi romantis seperti itu. Mungkin karena kebanyakan baca roman, mungkin kebanyakan nonton film itu, mungkin karena dia dekat dengan si perempuan itu, mungkin dia sedang dilanda cinta….
Untuk sesaat mereka betulbetul menikmati kebersamaan itu. Sampai akhirnya mereka putus. Dia ingin hubungan itu diproklamirkan, sementara si perempuan tak ingin. Menurut dia si perempuan tak cukup sayang kepadanya. Tapi kata si perempuan dia cukup beruntung bisa mencumbu teteknya. Menurut dia, si perempuan masih tak rela kehilangan kebebasannya. Tapi kata si perempuan dia berlaku tak masuk akal.

Dan sedikit demi sedikit dia kehilangan percaya pada kisah cinta. Apa yang dia tonton tetap terperangkap di layar bioskop. Cinta, kata dia, terlalu sombong untuk menghampiri dirinya. Terlintas di kepalanya untuk bunuh diri. Dia berpikir bunuh diri karena cinta adalah pengorbanan palig mulia. Tapi tentu saja dia tak jadi merealisasi lintasan pikiran itu. Karena dasarnya ia memang pengecut. Dia akhirnya punya alasan melegalkan ketakutannya. Kata dia, siapa yang akan merawat emak andai dia jadi bunuh diri.

Selama tiga hari, tak enak betul rasanya pikiran. Kerjanya memang tak cuma melamun. Tapi manakala pekerjaan tak menghisap, lintasanlintasan pikiran itu akan menyita ruang di otaknya. Si perempuan masih melekat di otaknya, pikiran bunuh diri masih singgah, begitu juga emaknya.

Tapi lepas seminggu semuanya berjalan dengan normal kembali. Orang kembali bekerja, atasannya kembali membentak manakala ada satu huruf yang salah dalam pekerjaannya, pasanganpasangan muda masih berduyunduyun menyambangi bioskop, di kedai tante bermake-up tebal masih tertawa. Hujan masih turun meskipun sekarang musim kering. Matahari yang sama tak sungkan membanjiri peluh mereka yang berani menantang. Di saat seperti itu, ia melupakan sumpah serapahnya. Dia lupa dengan orangorang yang pernah ia teriaki, “bajingan.” Kehidupan tak sekejam dan tak sehambar seperti yang ia kutuki setiap hari, setiap kali melangkah keluar rumah.


Diselesaikan tanggal 27 Januari 2006 pukul 00.00

Irwan

Dia datang ke rumah dengan sepeda mini yang telah dipapas jok belakang dan pakbornya. Jadi yang tertinggal adalah batang sepeda, setangnya, dan sepasang roda yang bannya sudah botak. Sepeda dekil itu sudah kusam catnya. Merah pudar warnanya. Dua baut di poros roda belakang sengaja dibuat panjang biar bisa menatak kaki penumpang. Dan di situlah adiknya membonceng. Berdiri, memegang erat pundak abangnya di depan.

Dua bocah bersaudara itulah yang datang ke rumah kami pagipagi itu. Kami yang tengah sibuk tak akan sempat memperhatikan bagaimana mereka datang. Tapi aku melihat bocah yang paling besar tampak sibuk mengimbangi sepedanya di gang yang jalannya setengah rusak itu. Sesekali dia mengkat kakinya yang kanan dan menekan ban depan sepeda untuk melambatkan lajunya. Di belakang, bocah yang lebih kecil menegang wajahnya. Mungkin karena tak merasa aman betul dengan tumpangannya itu.

Belum sampai depan rumah, sepeda itu sudah berhenti sama sekali. Di depan rumah tetangga kami, tiga petak dari rumah kami, mereka memilih mengistirahatkan sepeda dan duduk begitu saja di bangku yang ada di depannya.

Si abang berwajah tegang. Tangannya mengepal lembaran uang yang telah digulung. Sementara si adik diamdiam saja menggoyanggoyang kakikakinya yang mungil. Si abang sesekali mengarahkan pandangannya ke rumah kami. Tapi begitu aku melihat ke arah mereka, si abang pasti membuang mukanya ke arah lain. Tak berani menatapku.

Andai aku tak berinisiatif menghampiri, mungkin tak akan ada pesta bagi mereka.

“Siapa kau cari?”
“Tak siapa. Hendak istirahat sekejap. Haramkah?” dia menjawab dengan ketus.
“Teman Mahda kau ini?”
“Ya. Boleh disebut!” singkat dia berkata.
“Hendak ke pesta?”
“Tak. Biarlah kami di sini.”

Sulit juga bicara singkat seperti ini. Awalnya aku ingin beramahtamah dengannya. Tapi mendapat jawaban singkat ini, kalau tak sabarsabar malah aku yang naik darah. Kalau tak kulihat adiknya masih menggoyangkan kaki, niscaya tak kuingat yang ada di hadapanku cuma seorang bocah saja.

“Marilah masuk. Temanmu berkumpul sudah sedari tadi.”
“Tak. Biarlah kami di sini.”
“Jangan berlagak perkasa kau. Tak kasihan dengan adikmu?”

Kami sunyi sejenak.

“Kutitip saja uang ini ya. Sampaikan pada Mahda. Katakan ini dariku, Irwan.” Dia lantas menyerahkan dua lembar uang yang sudah lusuh, tergulung.
“Tak. Enak betul kau ini. Tak kenal adab, kurang diajar” Aku sedikit menghardiknya, mengingatkan aku lebih tua dari dia dan tak seharusnya dia bicara ketus, kurang ajar, apalagi sampai minta bantuan dengan nada seperti itu.
“Tolonglah. Payah sekali kudapat ini uang. Kasihlah pada Mahda.”
Aku perhatikan lekatlekat bocah ini. Dia memakai kaus yang melebar di bagian lehernya. Di sudut hidungnya masih tersisa ingus kering yang dibiarkan begitu saja. Satu dua lalat menghampiri borok di dengkulnya yang tak tertutup celana. Dia juga memakai sandal jepit hijau yang sama dengan adiknya. Cuma yang berbeda adalah ukurannya.

Maka aku bujuklah adiknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Biarlah, tak usah kau urus abangmu ini. Mari masuk. Ada banyak makanan.” Aku sedang menjulurkan tanganku kepada bocah yang lebih kecil, ketika abangnya langsung menyentakkan tangan menarik kuatkuat adiknya.
“Mari pulang! Kutinggal kau di sini bila kau turut ajakannya.” Dia menatap tajam mataku lantas melemparkan dua gulungan uang lusuh itu. “Kasihlah pada Mahda. Bilang dari Irwan.” Dia meninggalkan aku yang masih tak juga mengerti kenapa dia begitu keras kepala tak mau datang ke rumah.

Dia meninggalkan rumah kami dengan sepeda itu. Sepeda yang telah dipapas jok belakang dan pakbornya. Dia meninggalkan begitu banyak misteri. Apa dia malu karena datang tak membawa kado seperti teman yang lain. Apakah dia malu karena tak punya baju yang cukup baik untuk dikenakan di sebuah pesta. Kenapa uang yang dia beri. Itu pagi aku kasi dua lembar uang lusuh yang digulung kepada Mahda. Dari Irwan kataku. Aku tak tahu dari mana bocah sekecil itu mendapatkan dua lembar uang lusuh yang digulung itu. Payah yang pasti, mendapatkannya.

Mahda merayakan hari jadinya yang kesepuluh. Dia cantik dengan baju barunya yang kemarin dibeli ibu kemarin.

Sunday, January 08, 2006

sajak-sajak cinta

kami duduk berdua di teras rumah. habis mandi ditemani kopi pahit berkepul. dia bercerita tentang hari ini. tentang hari yang ia benci. tentang perutnya yang makin berlipat, dan jari-jari kakinya yang semakin gemuk. dia bercerita tentang kopi yang terlalu pahit, dan menu sarapan hari ini.

demi pagi, maka percakapan berganti gelitik jari-jari.

aku mau mandi.

23 September 2005

cinta kami

cinta kami adalah cinta purba
cinta para serigala kepada semesta
cinta kami adalah cinta nista para durjana dan para pendosa

28 September 2005

cemas (lagi)

andai kamu di sini, aku akan memeluk kamu. mendekap kamu. meredakan dentum kecemasan dan kecamuk ketakutan dalam kepala kamu. karena setiap dekapan adalah kenyamanan luar biasa.

28 September 2005

yang kini terdiam

demi yang tak terbatas, persaksikanlah cinta kami.

8 Oktober 2005

karena

karena kalau rindu tak harus buntu.

25 Oktober 2005

apalagi

apa lagi yang ingin kau tahu, kasihku. karena sungguh aku hendak menelanjangi diri di hadapan kamu.

apalagi yang ingin kau tahu, sayangku. aku sungguh hendak bersederhana dengan kamu. aku ingin semuanya berjalan dengan menyenangkan, meski kita tak kuasa mengelak dari kerumitan yang datang tanpa mengetuk pintu dan memberikan nama dan alasan yang terang. karena katanya cinta itu sederhana. karena dalam sajak ada keyakinan kita bisa mencinta dengan sederhana.

apalagi yang kau ingin tahu, sayangku. aku akan ada di situ. di pojok itu, sepanjang hidup kita. kadang aku mengoceh tanpa interogasi dan bisa juga sunyi senyap tak bicara karena sakit.

apalagi yang kau ingin tahu, sayangku. karena keyakinan katanya bisa kita temukan di dada. karena itu kita mencari sebuah dekapan untuk mencari ketenangan.

6 November 2005

nasihat perkawinan

mencinta, anakku sayang, adalah menyediakan diri untuk terbakar. karena cinta, kata orang tuamu, adalah api yang membakar.

mencinta, anakku sayang, adalah menumbuhkan pohon kasih sayang di dadamu. setiap sentinya yang tumbuh adalah usahamu yang tak jera. adalah air matamu yang tak putus menyiram. adalah pupuk asa yang tak pernah pupus kamu berikan.

mencinta, anakku sayang, adalah mencipta kehidupan. serupa dengan sifat tuhan. jangan pernah mengabaikan ciptaanmu. karena cukuplah sikap abai membunuhnya.

karena anakku sayang, kamu mati dengan siapa yang kaucintai.

“akulah yang akan menguburmu tepat di samping kuburku”

11 November 2005

angin utara

angin utara, angin utara
bila kau datang menembus jendela
kusediakan wajah ini untuk kau terpa

angin utara, angin utara
membawa basah di udara
jangan kau taruh salju di dada

angin utara, angin utara
bukan karena dingin wajah ini memerah
tapi karena engkau hendak membawa aku berkelana

angin utara, angin utara
janji setia tanpa mantra
janji setia tanpa dusta

22 November 2005

musim dingin

Musim kawin sudah tiba
Angin utara berembus kencang
Membawa bongkahan salju, menembus kulitmu dan bersemayam dalam sumsum
Tibatiba semua orang ingin berdekapan

mantra agung

Tidak ada mantra agung di kamar ini
Selain buih di mulut

Percuma saja kaucari tuhan
Karena di hatimu cuma ada asap dan kayu yang terbakar

pelajaran sejarah

Bangkubangku sekolah saling mencontek di sini
Gaduh membisikkan nama sultan agung
Bertanya tentang rebutan takhta yang merenggut nyawa

Papan tulis juga pernah bercerita tentang dentum mortir
Dan rentetan senapan yang menghunjam penduduk negeri sendiri

hikayat baju dan celana

Secarik nama datang kepadamu, meminta baju dan celana
Dia datang dari negeri senja yang tak mengenal fajar
Sebagian dirimu bergumam, “Kita pernah bertemu, tapi entah di mana.”

The Immortals

Mari kuceritakan kepadamu tentang orangorang yang tak pernah mati
Mereka yang menyisakan napas di lembaran buram foto
Sebagian kau lihat mereka nyinyir, sebagian penuh kemarahan
Dan sebagian lagi sudah mati bahkan sebelum mereka hidup
Rasanya hidup adalah bongkahan batu yang terus menggelinding

menghentikan dentang jarum jam

Kelak kau akan menghentikan ocehanmu tentang cinta
Tentang dentum jantungmu saat berjumpa dia
Tentang kata-katamu, “Cintamu seperti bom, membuat aku meledak…”

Kelak kau akan menghentikan percakapan telepon di malam hari
Telepon yang kau dekap erat-erat di kuping
Di keremangan kamar
Lirih sekali kau sebut, ”Aku cinta kamu…”

Kelak kau akan menopang cintamu dengan tongkat
Yang sekarang menemani kakimu yang gemetar

rockin chair

Di atas kursi goyang itu
kakekmu menuliskan wasiat kepada cucunya untuk berlayar
Mencari harta karun di pulau sebelah Tenggara
Tapi dia lupa menyiapkan perahu dan kain layarnya
Dia keburu meninggal di kursi itu

gas panic

Sudahkah kau tangkap pencuri hatimu?
Dia yang berjalan di tengah malam
Perlahan di sisi jendelamu

Tiktok langkah itu membuat jantungmu berdebar

Engkau membayangkan cerita-cerita bajak laut
Yang kau dengar dari ibumu sejak kecil
Lalu kautarik selimut ke sekujur tubuh

Dia yang kaubayangkan berwajah suram
Berubah menjadi pengeran tampan
Yang mencari sebelah hatinya
Yang nyangkut di dadamu.