Sunday, March 12, 2006

Perempuan di Langit

Ini adalah sesuatu yang ingin kau lakukan saat berusia 5 tahun. Kau ingin mengendarai motor dan mengebut dengan cepat. Kau pun ingin naik pesawat terbang. Ingin menembus langit yang kaulihat berwarna biru. Lalu lima tahun berikutnya impianmu berbeda. Kau Cuma ingin tampil jumawa di depan kawankawan. Sedikit demi sedikit bolehlah kepingin betul jadi kapten tim sepakbola dan memimpin rekanrekan bermain petak umpet. Satu tahun berselang kau ingin bermesraan dengan gadis yang belum lagi kuncup susunya.

Lima belas tahun kemudian kehidupan sudah membasuhmu dengan terik dan hujan. Kau mengenal rupiah dan bagaimana susahnya mempertahankan uang di mal yang kau kunjungi saban stres atau gajian di awal bulan. Emak sudah kau kasih jatah uang bulanan. 2 lembar limapuluhribuan sudah kau selip di bawah tumpukan baju di lemari. Kau dorong itu uang lebih ke dalam lagi. Supaya tak tampak. Dua lembaran itu menambah tumpukan lainnya yang sudah disisihkan duluan. Hatihati dia juga sudah menyisihkan uang untuk ongkos untuk transport sebulan.

Bulan baru menginjak kaki pada hari yang pertama, tapi kau merasa orang paling kaya sebumi. Mau kau apakan itu uang sisanya.

Kehidupan semakin kejam dan tidak menarik. Dia tak pandai bergaul. Ketawanya aneh hingga tak enak didengar, selera humornya payah. Sewaktuwaktu ia berniat memperbaiki wawasan humor. Dia beli dua tiga buku humor berukuran kantong. Dia juga baca majalah lelaki. Kata teman yang tak terlalu akrab kepadanya, majalahmajalah itu bisa meng-upgrade kemampuan sosialnya. Hmhmh. Setengah meragukan separuh percaya dia betulbetul beli itu majalah. Tapi celakanya otaknya tak cemerlangcemerlang amat. Pernah waktu SD dia tes IQ. Hasilnya dia terima di sampul cokelat bertulis rahasia. Di dalamnya, matanya cuma terantup pada angka 88 saja, entah skala apa.

Jadilah apa yang dia baca itu cuma melintas begitu saja. Saat berada di keliling temannya, tak satu pun lelucon yang dia ingat. Yang dia ingat cuma ilustrasinya saja, gambar pemuda yang lepas matanya dari kepala karena terbelalak melihat gadis di sebelahnya. Dia senyumsenyum sendiri dan ditinggal pergi temantemannya.

Ho ya, gaya ketawanya juga sungguh tak enak. Pernah mendengar seorang ibu mengejan waktu melahirkan? Persis seperti itu. Cuma bedanya kamu mendengarkan itu berulangulang kali dalam beberapa menit. Dan itu menyakitkan. Karena itu juga temantemannya menyingkir.

Tapi kemudian dia sadar betul kekurangannya. Setelah merenung dalamdalam, dia pun sudah sampai pada kesimpulan kelemahannya itu sulit diatasi. Untuk melampiaskannya jadilah dia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Ada dua hal yang menyebabkan dia suka diperpustakaan. Pertama karena udara di sana lebih sejuk dan kedua karena sepi. Tempat itu seperti surga bila dibanding rumahnya yang kecil dan banyak penghuninya—dia punya dua kakak dan empat adik, plus dua keponakan.

Cuma bagian roman saja yang dia suka. Buku roman adalah satusatunya buku yang mudah ia cerna. Kadangkadang ia juga menyelinap ke bagian anakanak. Di sini bukubukunya juga lebih bersahabat untuk otaknya yang kecil itu. Ia suka roman zaman Balai Pustaka sampai roman 70-an. Ia suka buku si Bongkok dari Notredame, Les Miserables, Oliver Twist, Hucleberry Finn, semuanya dalam versi terjemahan tentunya. Dia juga suka buku trio detektif dan lima sekawan. Imajinasinya benarbenar mengembara bersama tokohtokoh di buku ini. Belum genap satu tahun, dia sudah hapal isi lemari roman di perpustakaan.

Beranjak ke lemari lain, ke bagian filsafat, sejarah, ilmu pengetahuan alam, ia tak berani. Tapi di bagian roman tak ada lagi buku baru. Suatu saat dia mencoba perpustakaan baru. Dekat rumahnya. Lebih besar ukurannya, lebih banyak koleksinya. Tapi di situ dia tak bisa memilih bukubuku yang disukai. Dia mesti mencatat buku yang diinginkan, tanpa melihat gambar sampul dan tebalnya halaman buku, dan menyerahkannya pada petugas perpustakaan. Sungguh bukan seperti yang biasa ia lakukan di perpustakaan sebelumnya. Dia tak betah. Dan untuk beberapa waktu hobi barunya itu terhenti.

Dan gantinya dia menemukan kesenangan lain. Menyusur jalanjalan di Jakarta. Ia suka Jalan Diponegoro yang rimbun. Berhenti sesaat di Taman Suropati. Lalu menyusur lagi ke taman Jalan Lembang. Dia juga suka sekitar blok M yang juga masih teduh. Dalam waktu singkat dia sudah kenal betul tamantaman kota. Dia bahkan sudah berencana untuk membuat jadwal kunjungan ke tamantaman itu. Sekadar dudukduduk saja melihat orangorang yang melintas. Tidak menghabiskan waktu dengan membaca tentunya. Tidak seperti bayangannya ketika di perpustakaan pertama. Membaca di taman dengan sedikit bekal kudapan. Perkaranya dia tak punya cukup uang untuk membeli buku dan tak punya teman untuk dipinjam bukunya dan juga tak punya kartu perpustakaan yang bisa meminjamkannya buku.

Tapi kemudian dia ditodong preman. uangnya memang tak seberapa, cuma tigaribu rupiah saja yang terampas. Tapi dasar penakut, dia jadi trauma mengunjungi taman. Dia selalu waswas bila ada orang yang menghapirinya di tempat yang sepi. Dan hobinya lagilagi terhenti. Dia tambah membenci kehidupan. Kehidupan sudah tak ramah dulunya. Dan sekarang kehidupan juga kejam.

Badannya bergetar hebat habis dipalak. Jantungnya terus memompa, padahal dia tak sanggup lagi berdiri. Masih terbayang betul amarah dalam wajah si penodong, bau alkohol yang menyembur dan aroma masam dari badannya. Singkatnya dia tak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumput taman mana pun.

Dan dia telah dewasa sekarang. Punya pekerjaan bergaji enamratusribu sebulan. dipotong kanandankiri dia punya total 75 ribu setiap bulan untuk dihamburhamburkan. Tapi karena kehidupan kejam dan tidak ramah, dan dia tak punya teman untuk ditraktir maka 75 ribu itu hampir utuh setiap bulannya.

Entah bagaimana kemudian dia bisa sampai ke bioskop. Mungkin itu dari kebiasaan dia ketika suka jalanjalan dan melihat poster di bioskop yang besarbesar itu. Tapi ada kemungkinan juga, dia ke bioskop karena dia sering melihat jajaran iklan teater di sebuah koran yang dilanggan kantornya tiap sore.

Habis gajian dia kemudian memberanikan diri pergi ke bioskop. Dia malu betul sebenarnya mengantri. Dasar pengecut. Begitu masuk pintu bioskop dengan cepat betul ia mengamati suasana, sambil berjalan. Hebat betul dia memang berpurapura. Sekali lihat, tanpa ekspresi wajah yang berarti dia menuju satpam yang ada dekat pintu lainnya. “Di mana toiletnya, Pak.” Dia berlaga pilon sembari ngeloyor ke toilet. Renungmerenung, jadi inilah hasil pengamatannya selama beberapa detik mulai dari pintu masuk bioskop sampai meja satpam tempat dia bertanya. Cuma ada sedikit orang yang ada gedung itu. Cuma ada sedikit kerumunan dekat bangku. Tapi tak ada antrean di depan loket. Itu berarti dia aman. Dia mestinya tidak canggung membeli tiket bioskop… untuk yang pertama kalinya. Si penjaga loket bilang nomor berapa sambil mengajukan kertas berisi daftar bangku kosong. Ah, ternyata masih banyak yang kosong toh. Ya kebetulan. Dia langsung memilih bangku paling tengah. Tengah secara horisontal dan vertikal. Pokoknya benarbenar tengah.

Sofa bioskop itu empuk sekali. Dia senang betul dengan reaksi pantatnya yang tepos begitu menghajar sofa. Hmhmh empuk dan dia sekarang menikmati film itu. Film drama yang membuatnya menitikkan airmata. Saat si lakilaki mencium perempuan di akhir film.

Sejak itu dia melihat banyak sekali ending dalam film. Ada yang berakhir dengan kematian, kenestapaan, perpisahan, dan tak jarang juga kebahagiaan. Dan itu kadang ia renungi lamalama. Makin lama merenung makin pesimistis saja ia terhadap kehidupan ini. “Tak ada yang konsisten di dunia ini, makin keras kau berusaha menaklukkan dunia ini maka akan semakin cepat juga dunia ini menaklukkanmu. Tak ada formula, tak ada pola, semuanya acak. Setiap usaha yang sama tak menghasilkan buah yang sama. Persis seperti filmfilm itu.

Semakin sering dia menonton filmfilm itu semakin kuat pula keinginannya untuk punya perempuan. Pacar. Awalnya sekadar ingin tampak seperti di filmfilm itu. Tapi lamalama ia kebelet betul ingin punya pacar. Dan satu per satu kemudian ia memeriksa semua kenalan teman perempuannya. Ada Susan yang berkerudung tapi cantik, ada juga Rita yang dia suka betul gayanya tapi kurang bertampang manis. Ada juga gadis yang tinggal ujung gang rumahnya. Orangnya cantik, tapi ia tak tahu bagaimana memulai usaha pendekatannya. Dia pemalu dan penakut. Jadi selama berbulanbulan bahkan hampir mencapai bilangan dua tahun dia melampiaskan air mata dan kasih sayang di bioskop saja. Emaknya tak mungkin tahu apa yang dia rasakan. Dia juga enggan betul membaginya.

Sampai suatu saat dia bertemu dengan perempuan ini. Samasama sendiri di bioskop. Dia sudah duluan duduk di tempat yang sepi. Tentu dia memilih tempat yang sepi, karena ia malas betul ngobrol dengan orang atau tampak terlalu mencolok di depan orang. Tapi perempuan ini datang menghampirinya. Mengajak dia ngobrol. Dan tak lama mereka sudah berdebat seru tentang siapakah yang paling bersalah dalam tragedi Siti Nurbaya. Betapa malangnya nasib Esmeralda.

Sejenak waktu pertunjukkan memang memisahkan mereka. Dia seperti biasa duduk di tengah. Tengah secara horizontal dan tengah secara vertical, sementara itu si perempuan memilih bangku paling belakang. Lebih asik katanya. Usai pertunjukkan mereka bertemu lagi dan membicarakan seribu topic tak penting dari filmfilm yang pernah mereka tonton atau tokoh roman yang mereka baca atau sepasang kekasih yang melintas di depan mereka, atau gambar seronok di tabloid yang mereka beli dan samasama baca. Dia pernah bertanya,

“Apa kamu pernah kursus menerbangkan pesawat?”
“Tak… Kenapa?”
“Kamu keturunan burungburung purbakala?”
“Bukan juga.”
“Ibumukah yang punya darah bidadari?”
“Bukan.”
“Aku seperti diajak terbang, berada di awan”

Untuk sesaat si perempuan diam. Diraihnya itu kepala dan didekatkan bibirnya. Dua makhluk itu pun berciuman. Dia merasa seperti dihunjam beribu mortar, seperti merasakan serbuan halilintar yang bergemuruh. Dia merasa seperti gumpalan lava yang bergelegak di perut bumi, lantas menggumpal, menerobos kulit bumi, menyeruak ke permukaan lantas melesat ke angkasa membelah langit. Membuncah dan menggelegar, pecah serupa kembang api yang terang berderang menantang kegelapan malam.

Dari mana itu katakata berasal. Dari mana ia belajar menggombal sedemikian rupa. Dari mana ia belajar melucu semi romantis seperti itu. Mungkin karena kebanyakan baca roman, mungkin kebanyakan nonton film itu, mungkin karena dia dekat dengan si perempuan itu, mungkin dia sedang dilanda cinta….
Untuk sesaat mereka betulbetul menikmati kebersamaan itu. Sampai akhirnya mereka putus. Dia ingin hubungan itu diproklamirkan, sementara si perempuan tak ingin. Menurut dia si perempuan tak cukup sayang kepadanya. Tapi kata si perempuan dia cukup beruntung bisa mencumbu teteknya. Menurut dia, si perempuan masih tak rela kehilangan kebebasannya. Tapi kata si perempuan dia berlaku tak masuk akal.

Dan sedikit demi sedikit dia kehilangan percaya pada kisah cinta. Apa yang dia tonton tetap terperangkap di layar bioskop. Cinta, kata dia, terlalu sombong untuk menghampiri dirinya. Terlintas di kepalanya untuk bunuh diri. Dia berpikir bunuh diri karena cinta adalah pengorbanan palig mulia. Tapi tentu saja dia tak jadi merealisasi lintasan pikiran itu. Karena dasarnya ia memang pengecut. Dia akhirnya punya alasan melegalkan ketakutannya. Kata dia, siapa yang akan merawat emak andai dia jadi bunuh diri.

Selama tiga hari, tak enak betul rasanya pikiran. Kerjanya memang tak cuma melamun. Tapi manakala pekerjaan tak menghisap, lintasanlintasan pikiran itu akan menyita ruang di otaknya. Si perempuan masih melekat di otaknya, pikiran bunuh diri masih singgah, begitu juga emaknya.

Tapi lepas seminggu semuanya berjalan dengan normal kembali. Orang kembali bekerja, atasannya kembali membentak manakala ada satu huruf yang salah dalam pekerjaannya, pasanganpasangan muda masih berduyunduyun menyambangi bioskop, di kedai tante bermake-up tebal masih tertawa. Hujan masih turun meskipun sekarang musim kering. Matahari yang sama tak sungkan membanjiri peluh mereka yang berani menantang. Di saat seperti itu, ia melupakan sumpah serapahnya. Dia lupa dengan orangorang yang pernah ia teriaki, “bajingan.” Kehidupan tak sekejam dan tak sehambar seperti yang ia kutuki setiap hari, setiap kali melangkah keluar rumah.


Diselesaikan tanggal 27 Januari 2006 pukul 00.00

No comments: