Sunday, March 12, 2006

Untuk Lupa

Mat Rojak bukan asli orang sini. Kampungnya ada jauh di seberang kampung kami, menyeberang selajur jalan raya yang jarang dilalui kendaraan. Tapi dia selalu senantiasa ada di ujung gang kampong kami, kadang dia juga berkumpul di bawah pohon mangga yang senantiasa rindang bersama bapakbapak di kampong ini yang tampak sudah diakrabinya betul betul, kadangkadang juga, dalam keadaan sadar, dia menjadi muazin di musala kecil di kampong ini. Kalau aku sebut dalam keadaan sadar tadi, ini sematamata kerena dia juga kerap mabuk. Tapi dia tipe pemabuk yang tak mau berbuat onar di kampong kami. Jam mabuknya pun hamper bisa dipastikan. Pasti di akhir pekan dan di atas tengah malam, bahkan menjelang pagi. Dia akan tertidur pulas di pos jaga dekat portal.

Orang-orang tua di kampung kami mestinya mafhum asal usul Mat Rojak, tapi kami yang masih muda tak banyak ingin tahu dari mana dia berasal. Kami juga tak ingin tahu hubungan kekerabatan Mat Rojak dengan orangorang di kampung ini. Bagi kami yang muda, dia tak lebih dari makelar yang biasabiasa saja. Ah sulit betul memang melukiskan “biasabiasa” sebagai atribut Mat Rojak. Biasa saja artinya dia tidak merugikan kampung kami. Biasa juga artinya ia tak terlalu membawa manfaat bagi kampung ini. Yang kami perlu tahu adalah dia tak mengganggu kami, tidak juga menimbulkan belas kasih kami. Jerih payahnya sebagai makelar sepertinya cukup untuk biaya makan Mat Rojak seharihari. Oh ya Mat Rojak membujang. Kadang status ini pula yang sering kali menjadi bahan ejekan orangorang kepadanya. Bujang lapuk, kata orang seberang. Mulai dari Haji Imran sampai dengan bapak kurang ajar, Cing Enih.

Begitulah pekerjaan “resminya”. Satu hari Mat Rojak tergopohgopoh memboyong televisi, lain hari dia membawa kipas angin berkaki satu. Lain hari dia membawa satu set tape stereo mentereng, tapi kadang dia juga cuma membawa satu set panci. Kata dia itu bukan sembarang panci. Itu panci, panci Teflon, tanpa perlu minyak goreng untuk memasak. Teflon itu kata dia tanpa tahu maknanya. Kadangkadang dia bahkan tak membawa apaapa. cuma sendirian berbaringbaring malas di pos dekat portal itu. Tapi kadang dia juga belepotan adonan semen, karena ikut menjadi buruh bangunan dadakan atau memegang arit dan sibuk memotong rumput di halaman Pak Roni, orang terkaya di kampung kami.

Tapi angin terus berembus meniup dedaunan yang bergantung di ranting dan dahan pohon mangga yang setia menaungi tempat berkumpulnya Mat Rojak dan bapakbapak di kampung kami. Satu dua lembar daun jatuh menyusul beberapa lembar lainnya yang duluan bersua tanah dan baunya. Rerumputan yang Mat Rojak potong bulan lalu sudah tumbuh kembali. Hijau betul. Anakanak yang kerap mengganggu Mat Rojak, yang sering mengganggunya atau meminta bantuannya atau yang kerap meminta dia untuk menggendong, sudah besarbesar. Selepas sekolah mereka bergabung bersama bapakbapak mereka berkumpul di bawah pohon mangga itu. Mereka kebanyakan menganggur atau menyerahkan nasib begitu saja kepada belas kasih perusahaanperusahaan besar. Kini bapak dan anak bisa menghisap merek rokok yang sama dan menyeruput kopi dari cangkir yang sama, di bawah pohon mangga.

Dan Pak Marjo yang sering betul menyambangi pohon itu, dan juga menghabiskan deru napas tuanya di musala, meninggal dunia. Sedih betul kami kehilangan tetua kampung seperti dia, yang ramah kepada siapa pun. Tak anak muda, tak orang tua. Tak ada lelaki, tak ada juga perempuan. Semuanya menangis, bersamaan dengan kedutan maut malaikat pencabut nyawa yang menjemput Pak Marjo.

Meninggalnya Pak Marjo tak cuma membekaskan kesedihan di kampung kami. Belum seminggu setelah meninggalnya, kampung kami terusik. Dan sumber ketidaknyamanan itu tak lain adalah Mat Rojak. Beberapa hari setelah kematian itu, Mat Rojak rajin berkeliling kampung kami dengan sepeda ontel mengkilap milik Pak Marjo. Dia tak Cuma mengendarai sepeda jangkung itu, tapi juga memamerkan kemanamana. Dia bercerita kepada kami, betapa senangnya berkelana kemanamana tanpa harus berjalan. Dia bisa berkunjung tak Cuma ke kampung kami, tapi juga kampung sebelahnya. Dia bahkan berani berkunjung jauh ke pusat kota dengan sepeda ontel itu. Saat ditanya soal asalusul sepeda itu, dia menjawab ringan, Pak Marjo memberikan kepadanya beberapa hari sebelum meninggal. Kata Mat Rojak sepeda itu diberikan Pak Marjo sebagai hadiah karena dia rajin membersihkan musala dan hampir berbulanbulan tak lagi mabuk. Apa yang dikatakan Mat Rojak memang betul sepenuhnya. Dia tak pernah berkumpul lagi dengan para pemabuk dan rajin mengumandangkan azan, paling tidak untuk salat zuhur, asar, dan magrib. Tapi kami sama sekali tak tahu dan sanksi dengan bagian akhir ceritanya, bahwa Pak Marjo benarbenar memberikan sepeda itu kepadanya. Parahnya lagi, tak satu orang pun yang bisa kami tanyakan untuk memastikan identitas sepeda itu, karena Pak Marjo praktis hidup sendirian setelah istrinya meninggal. Anak dia tak punya. Untuk keperluan seharihari dia menyerahkan tubuhnya yang renta untuk diberi makanan oleh pembantunya.

Lamalama kami jengah juga. Mungkin karena belum mendapat jawaban dari misteri sepeda ontel Pak Marjo, mungkin juga karena aksi Mat Rojak yang senantiasa memakai sepeda itu kemanamana. Bahkan untuk menyambangi satu rumah ke rumah lainnya yang berjarak kurang dari lima meter, dia memakai sepeda itu. Dia senantiasa melekat dengan sepeda itu. Mungkin juga karena kami cemburu saja.

Pernah suatu kali bapakbapak yang biasa berkumpul di pohon mangga itu bermufakat untuk menghadirkan Mat Rojak di tengahtengah mereka dan menanyainya mengenai identitas sepeda itu. Seperti persidangan di TV-lah. Tapi rencana itu gagal, karena kelompok ini tak bersepakat siapa yang akan memulai. Siapakah yang mau maju dan mengundang Mat Rojak dalam pertemuan “formal” mereka.

Agak menggelikan memang rencana ini. Karena kami, warga kampung sini, tak biasa merundingkan masalah. Kami tak biasa melontarkan gagasan dari satu kepala ke kepala lainnya untuk dicarikan jalan tengahnya. Kami lebih menyerahkan masalah kepada waktu, “Kau tahulah apa yang mesti diperbuat dan mana yang tidak,” begitulah kirakira filosofinya. “Persidangan” seperti ini benarbenar menggelikan.

Lain dengan bapakbapak mereka yang lebih menjaga perasaan Mat Rojak, pemuda tanggung dan setengah dewasa lebih ekspresif melontarkan ketidaksukaan mereka kepada Mat Rojak. Sering betul mereka melontarkan ejekan menghina dan sindiran yang menusuk hati. Sepeda bau mayat, itu kata mereka kepada Mat Rojak.

Mat Rojak sendiri sebenarnya tak membangun tembok dengan temantemannya, bapakbapak kampung sini. Tapi serasa ada celah menganga di antara mereka, bahkan saat mereka samasama menghirup kopi di bawah pohon rambutan itu. Dalam sepekan, sudah bisa dihitung kemunculannya di kampung ini. Semakin jarang. Sementara itu di bawah pohon mangga, cerita tentang Mat Rojak terus beranakpinak. Ada cerita tentang Mat Rojak yang pernah menilep uang sumbangan, atau curang saat menjadi makelar penjualan Tape merek Sanyo milik seorang tetangga, atau tangan Mat Rojak yang jahil pernah menyentuh pantat gadis kecil di sini.

Sementara itu mereka yang masih muda sudah bermufakat, akan menghakimi Mat Rojak. Mereka akan memaksa Mat Rojak menceritakan bagaimana itu sepeda bisa sampai berpindah tangan. Lebih jauh, mereka juga punya pikiran lain. Mereka ingin tahu apakah Pak Marjo meninggal dengan wajar. mereka yakin di mulut Mat Rojak ada semua jawaban.

Pagipagi mereka sudah berkumpul di pohon Mangga. Tak seperti biasanya di bawah pohon mangga itu para lelaki berkumpul penuh. Para pemuda bersepakat untuk menyambangi rumah Mat Rojak di kampung sebelah. Bapakbapak tak bisa dibilang setuju dengan rencana anakanak mereka itu, tapi mereka juga tak bisa dibilang menentang. Mereka mewantiwanti anaknya agar tak mengganggu kampung orang, tapi juga menitip satu dua pertanyaan untuk membogkar misteri sepeda Mat Rojak.

Maka berangkatlah rombongan pemuda itu melewatkan matahari siang di kampung kami. Menjelang asar mereka baru kembali. Dan terlihat mukamuka mereka murung sementara mulut terkunci rapatrapat. Satu bapak memberanikan diri bertanya, ada apa? Kenapa butuh waktu lama sekali untuk menyambangi rumah Mat Rojak.

Dan di bawah pohon mangga itu para pemuda ini bercerita perjalanan mereka menemui Mat Rojak. Kata mereka Mat Rojak meninggal terhantam truk yang melintas jalan satu lajur yang jarang dilalui kendaraan itu, malam kemarin. Sepedanya gepeng dan penyok. Bangkai sepeda teronggok di depan rumahnya begitu saja. Dan itu siang mereka turut mengantarkan jenazah Mat Rojak sampai ke pekuburan.

Dan tampaknya kampung kami memang mudah sekali melupakan orang. Tak sampai seminggu nama Mat Rojak sudah hilang sama sekali, tak pernah beredar lagi dalam perbincangan di bawah pohon mangga. Padahal mereka yang berkumpul di bawahnya semakin banyak. Hoya sudahkah aku bilang, banyak pemuda di sini yang menjadi makelar. Pekerjaan susah didapat kata mereka. Karena itulah mereka beralih menjadi penghubung orang yang ingin menjual barang dengan orang yang kelebihan uang, tapi belum tentu membutuhkan barangnya. Mereka sepertinya mengikut jejak Mat Rojak.


Untuk Lupa

No comments: