Sunday, March 19, 2006

Kampung Tuli (bagian 1)

Bukan karena keturunan, penduduk di kampung ini sedikit berteriak bila berbicara satu sama lain. Tapi dua buah corong pengeras suara musala, satu dari masjid, satu lagi dari dua sekolah yang mengapit kampung rasanya sudah cukup untuk membuat pendengaran mereka berkurang beberapa persen dari ukuran normal. Kalau belum cukup juga, aku beri tahu padamu, ada sepasang jalur kereta api yang ditindas seringsering, bahkan sampai tengah malam. Nyaris 24 jam beroperasi. Belum lagi lonceng untuk pintu kereta yang berbunyi nyaring saban kereta mampir sejanak.

Tiap Senin, corongcorong dari dua sekolah, pagipagi, menggelegar. Kepala sekolah yang berpidato tata krama tak cuma memberikan petuahnya untuk muridmurid yang apel. Tapi juga ibuibu yang keluar membeli sayur, atau bapakbapak yang bersiap kerja. Atau anakanak kecil yang sedang berak di selokan depan rumah.

Oh ya, hampir tiap rumah juga punya pemutar musik lengkap dengan speaker besarbesar. Tiap pagi mereka juga semangat menyetel itu perangkat saling mengadu suara. Cuma di kampung itu saja kau bisa menjumpai pertarungan antara kroncong, dangdut dan lagu pop cengeng.

Tiap jumat irama orkes untuk senam dari sekolah juga masuk ke ruangruang sempit yang masih disisakan antarrumah yang sudah bertumpuk dan berimpitan. Ada yang iseng mengikuti gerak para murid senam massal, sebagian yang lain cuek melanjutkan obrolannya, dengan setengah berteriak. Lima kali dalam sehari corong pengeras dua buah musala yang mengapit di ujungujung gang berebut kuping dan jamaah. Cuma pada hari jumat, waktu zuhur saja musalamusala itu membisu, memberikan suaranya pada masjid jami yang ada di luar kampung. Masjid ini juga punya corong pengeras suara yang tak kalah nyaring. dan hampir setengah jam sekali, atau bahkan kurang dari itu, lokomotoif menderu menyampaikan kabar pada pak penjaga pintu kereta membunyikan lonceng dan menurunkan palang.

Karena itulah, jangan kau heran bila penduduk di sini setengah berteriak bila berbicara dengan yang lainnya.

Lepas azan isya, malam minggu, adalah waktu para pemuda bernyanyi. Giliran gitargitar kopong meraung meminta ruang untuk berdendang. Setelah mereka lelah, minggu pagi giliran bapakbapaknya keluar, bercengkerama di rumah mana pun yang menyediakan sedikit gorengan peneman obrolan yang bisa kalap mengarah kemanamana.

Karena itu kalau kau datang ke kampung itu, yang kaujumpai adalah kebisingan 24 jam tanpa henti.

Malam bisa terasa sangat menyenangkan. Sejuk dengan lampu yang menemani tawa bocah yang bermain di bawahnya. Tapi dengan tibatiba kau bisa digedor dengan teriakan ibuibu yang kalap dengan suaminya. Atau anak yang mengacungacungkan pisau kepada ayahnya. Mereka saling berteriak… kali ini bukan ketika mereka berbicara. Atau kau bisa juga mendengar pintupintu yang digebrak paksa atau triplek yang jadi pembatas antarrumah dijebol. Pertengkaran antartetangga sudah lazim di sini.

Kamu juga masih bisa menjumpai lalat di malam hari. Dan itu cuma ada di kampung ini. Kalau siang tadi itu lalatlalat mampir ke koreng, atau ingus bocah, malamnya mereka menempel bodoh di mana pun. Mereka jadi buta dan bodoh. Nempel di sembarang tempat. Dan kau pun mudah untuk membunuh mereka. Karena mereka sedikit buta.

Malam kemarin Bu Tuti bertengkar dengan Mbak Neni. Perkaranya kecil, cuma karena anak Bu Tuti menyebut Mbak Neni Lonte. Lantas dua perempuan yang sudah lama memendam dendam itu berseteru.

"Lu lonte, anjing. Anak gue emang kaga salah. Elu emang lonte. Mane lu punye laki?"
"Neneklu tuh lonte. Kaga bisa didik anak, lu kurap," Mbak Neni tak kalah sewot.
Bu Tuti lantas kalap mengambil sapu lalu ember, lalu benda apa pun yang ada di dekatnya diraih. Dia mau menutup mulut Mbak Neni, yang masih menyisakan lipstik tebal sisa tadi malam.
“Pupurlu aje tebel. Bukan lonte begitu?”
Mbak Neni tak tahan, segera menjambak Bu Tuti. Tapi niat perempuan langsing itu tak kesampain. Segala tetangga dan pak rt yang sebenarnya sudah mengerubung sejak tadi segera memisahkan.

Tapi jangan kau sangka hubungan mereka melulu buruk. Bu Tuti akan berubah selembut putri salju bila memerlukan uang. Dia tahu Cuma Mbak Neni yang bersedia jadi rentennya. Tapi kau jangan heran pula kalau Bu Tuti tak mampu berbicara pelan. Karena semua orang di kampung itu harus berbicara setengah berteriak kepada yang lain.

Cuma di kampung ini pula tukang roti dan tukang bakso bersahabat. Keduanya tak berebut untuk membunyikan kentongan atau piring dan juga terompet kecil, untuk menandakan kehadiran mereka. Lalu ada tukang getuk lindri yang memasang set stereo di gerobaknya sekonyongkonyong.

No comments: