Sunday, March 12, 2006

Irwan

Dia datang ke rumah dengan sepeda mini yang telah dipapas jok belakang dan pakbornya. Jadi yang tertinggal adalah batang sepeda, setangnya, dan sepasang roda yang bannya sudah botak. Sepeda dekil itu sudah kusam catnya. Merah pudar warnanya. Dua baut di poros roda belakang sengaja dibuat panjang biar bisa menatak kaki penumpang. Dan di situlah adiknya membonceng. Berdiri, memegang erat pundak abangnya di depan.

Dua bocah bersaudara itulah yang datang ke rumah kami pagipagi itu. Kami yang tengah sibuk tak akan sempat memperhatikan bagaimana mereka datang. Tapi aku melihat bocah yang paling besar tampak sibuk mengimbangi sepedanya di gang yang jalannya setengah rusak itu. Sesekali dia mengkat kakinya yang kanan dan menekan ban depan sepeda untuk melambatkan lajunya. Di belakang, bocah yang lebih kecil menegang wajahnya. Mungkin karena tak merasa aman betul dengan tumpangannya itu.

Belum sampai depan rumah, sepeda itu sudah berhenti sama sekali. Di depan rumah tetangga kami, tiga petak dari rumah kami, mereka memilih mengistirahatkan sepeda dan duduk begitu saja di bangku yang ada di depannya.

Si abang berwajah tegang. Tangannya mengepal lembaran uang yang telah digulung. Sementara si adik diamdiam saja menggoyanggoyang kakikakinya yang mungil. Si abang sesekali mengarahkan pandangannya ke rumah kami. Tapi begitu aku melihat ke arah mereka, si abang pasti membuang mukanya ke arah lain. Tak berani menatapku.

Andai aku tak berinisiatif menghampiri, mungkin tak akan ada pesta bagi mereka.

“Siapa kau cari?”
“Tak siapa. Hendak istirahat sekejap. Haramkah?” dia menjawab dengan ketus.
“Teman Mahda kau ini?”
“Ya. Boleh disebut!” singkat dia berkata.
“Hendak ke pesta?”
“Tak. Biarlah kami di sini.”

Sulit juga bicara singkat seperti ini. Awalnya aku ingin beramahtamah dengannya. Tapi mendapat jawaban singkat ini, kalau tak sabarsabar malah aku yang naik darah. Kalau tak kulihat adiknya masih menggoyangkan kaki, niscaya tak kuingat yang ada di hadapanku cuma seorang bocah saja.

“Marilah masuk. Temanmu berkumpul sudah sedari tadi.”
“Tak. Biarlah kami di sini.”
“Jangan berlagak perkasa kau. Tak kasihan dengan adikmu?”

Kami sunyi sejenak.

“Kutitip saja uang ini ya. Sampaikan pada Mahda. Katakan ini dariku, Irwan.” Dia lantas menyerahkan dua lembar uang yang sudah lusuh, tergulung.
“Tak. Enak betul kau ini. Tak kenal adab, kurang diajar” Aku sedikit menghardiknya, mengingatkan aku lebih tua dari dia dan tak seharusnya dia bicara ketus, kurang ajar, apalagi sampai minta bantuan dengan nada seperti itu.
“Tolonglah. Payah sekali kudapat ini uang. Kasihlah pada Mahda.”
Aku perhatikan lekatlekat bocah ini. Dia memakai kaus yang melebar di bagian lehernya. Di sudut hidungnya masih tersisa ingus kering yang dibiarkan begitu saja. Satu dua lalat menghampiri borok di dengkulnya yang tak tertutup celana. Dia juga memakai sandal jepit hijau yang sama dengan adiknya. Cuma yang berbeda adalah ukurannya.

Maka aku bujuklah adiknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Biarlah, tak usah kau urus abangmu ini. Mari masuk. Ada banyak makanan.” Aku sedang menjulurkan tanganku kepada bocah yang lebih kecil, ketika abangnya langsung menyentakkan tangan menarik kuatkuat adiknya.
“Mari pulang! Kutinggal kau di sini bila kau turut ajakannya.” Dia menatap tajam mataku lantas melemparkan dua gulungan uang lusuh itu. “Kasihlah pada Mahda. Bilang dari Irwan.” Dia meninggalkan aku yang masih tak juga mengerti kenapa dia begitu keras kepala tak mau datang ke rumah.

Dia meninggalkan rumah kami dengan sepeda itu. Sepeda yang telah dipapas jok belakang dan pakbornya. Dia meninggalkan begitu banyak misteri. Apa dia malu karena datang tak membawa kado seperti teman yang lain. Apakah dia malu karena tak punya baju yang cukup baik untuk dikenakan di sebuah pesta. Kenapa uang yang dia beri. Itu pagi aku kasi dua lembar uang lusuh yang digulung kepada Mahda. Dari Irwan kataku. Aku tak tahu dari mana bocah sekecil itu mendapatkan dua lembar uang lusuh yang digulung itu. Payah yang pasti, mendapatkannya.

Mahda merayakan hari jadinya yang kesepuluh. Dia cantik dengan baju barunya yang kemarin dibeli ibu kemarin.

No comments: